Senin, 25 Mei 2009

Bimbingan Dan Konseling Universitas Lampung

Kita tidak hanya peduli pada umur yang panjang, melainkan hidup secara lengkap; untuk hidup yang panjang hanya dibutuhkan nasib baik, sedangkan hidup secara lengkap diperlukan karakter. Hidup yang panjang adalah hidup yang lengkap; hidup menjadi lengkap apabila kita hanya mengisi pikiran dengan kualitas yang baik dan menjadi master untuk diri sendiri.Seneca, the younger (first century AD)


Teori Perkembangan Kognisi ( Jean Piaget )

Oleh WangMuba pada 20.Feb, 2009, dalam ARTIKEL, Materi Psikologi, Psikologi Perkembangan


A. PENGERTIAN
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan ( Neisser, 1976). Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan.

Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa.

Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.

B. TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET

Jean Piaget meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927 sampai 1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget menyatakan bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu /pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu.

Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia masih kecil.

Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably dengan istilah struktur. Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang . Scheme berhubungan dengan :

1. Refleks-refleks pembawaan ; misalnya bernapas, makan, minum.
2. Scheme mental ; misalnya scheme of classification, scheme of operation. ( pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap, pola tingkah laku yang dapat diamati

Jika schemas / skema / pola yang sudah dimiliki anak mampu menjelaskan hal-hal yang dirasakan anak dari lingkungannya, kondisi ini dinamakan keadaan ekuilibrium (equilibrium), namu ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pola-pola yang ada, anak mengalami sensasi disekuilibrium (disequilibrium) yaitu kondisi yang tidak menyenangkan.

Sebagai contoh karena masih terbatasnya skema pada anak-anak : seorang anak yang baru pertama kali melihat buaya ia menyebutnya sebagai cecak besar, karena ia baru memiliki konsep cecak yang sering dilihat dirumahnya. Ia memiliki konsep cecak dalam skemanya dan ketika ia melihat buaya untuk pertama kalinya, konsep cecaklah yang paling dekat dengan stimulus. Peristiwa ini pun bisa terjadi pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kurangnya perbendaharaan kata atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui. Misalnya : seringkali orang menyebut kuda laut itu sebagai singa laut, padahal kedua binatang itu jauh berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun bentuk tubuhnya dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan sebagian bentuk tubuhnya yang hampir sama.

Perkembangan skemata ini berlangsung terus -menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran dan tingkat intelegensi anak itu.

Menurut Piaget, intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek,

1. Struktur ; disebut juga scheme seperti yang dikemukakan diatas
2. Isi ; disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah.
3. Fungsi ; disebut fungtion, yaitu yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektul.

Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi invariant, yaitu organisasi dan adaptasi.

1. Organisasi ; berupa kecakapan seseorang dalam menyusun proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk system-sistem yang koheren.
2. Adaptasi ; yaitu penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya.

Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1. Asimilasi

Adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk / proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya.

2. Akomodasi

Adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung/ proses perubahan respons individu terhadap stimuli lingkungan.

Dalam struktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif ini pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang dimiliki ke keseimbangan baru yang diperolehnya.

Dengan penjelasan diatas maka dapatlah kita ketahui tentang bagaimana terjadinya pertumbuhan dan perkembangan intelektual.

Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinu dari adanya equilibrium – disequilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya equilibrium, individu akan dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi.

C. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN

Piaget mengidentifikasi empat faktor yang mempengaruhi transisi tahap perkembangan anak, yaitu :

1. kematangan
2. pengalaman fisik / lingkungan
3. transmisi social
4. equilibrium

Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami setiap individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis :

1. tahap Sensori Motor : 0 – 2 tahun ;
2. tahap Pra Operasi : 2 – 7 tahun ;
3. tahap Operasi Konkrit : 7 – 11 tahun ;
4. tahap Operasi Formal : 11 keatas.

Sebaran umur pada seiap tahap ersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dan teori ini berdasarkan pada hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an.

a. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)

Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra)

Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghiang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dll.

Kesimpulan pada tahap ini adalah : Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak beum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya.

b. Tahap Pra Operasi ( Pre Operational Stage)

Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting), (mairer, 1978 :24). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-ojek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain dari itu, cirri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.

Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja.

c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)

Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, dan pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objek

Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika.

Smith (1998) memberikan contoh. Anak-anak diberi tiga boneka dengan warna rambut yang berlainan (Edith, Suzan, dan Lily), tidak mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi boneka yang berambut paling gelap. Namun, ketika diberi peranyaan, “Rambut Edith lebih terang daripada rambut Lily. Rambut siapakah yang paling gelap?” , anak-anak pada tahap operasional konkret mengalami kesulitan karena mereka belum mampu berpikir hanya dengan menggunakan lambang-lambang.

Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak telah dapat mengetahui symbol-simbol matematis, tetapi belum dapatt menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud).

d. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)

Tahap operasi formal ini adalah tahap akhir dari perkembangan konitif secara kualitatif. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abtrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwanya berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi.

Sebagai contoh eksperimen Piaget berikut ini :

Seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “pak Pendek” dan untaian klip (penjepit kertas) untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Kemudian ditambahkan penjelasan dalam bentuk verbal bahwa “Pak Pendek” itu mempunyai teman “Pak Tinggi”. Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi “Pak Pendek”empat batang sedangkan tinggi “Pak Tinggi” enam batang korek api.

Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah diatas, anak harus memerlukan operasi terhadap operasi.

Karakteristik dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kekampuan untuk melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya (child, 1977 : 127)

Kesimpulan pada tahap ini adalah :

Pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh isi argument (karena itu disebut operasional formal).

Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya system nilai dan ideal, serta pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.

D. IMPLIKASI PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN DI KELAS

Pengaplikasiannya di dalam belajar : perkembangan kognitif bergantung pada akomodasi. Kepada individu diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tak dapat belajar dari apa yang telah diketahuinya saja. Ia tak dapat menggantungkan diri pada asimilasi. Dengan adanya area baru ini individu akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasi. Situasi atau area itulah yang akan mempermudah pertumbuhan kognitif.

Secara terinci dibawah ini adalah penerapan teori Piaget terhadap pendidikan di kelas :

1. Karena cara berpikir anak itu berbeda-beda dan kurang logis di banding dengan orang dewasa, maka guru harus dapat mengerti cara berpikir anak, bukan sebaliknya anak yang beradaptasi dengan guru.
2. Anak belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Arrtinya disini adalah agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas khusus yang dirancang untuk membimbing para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri.
3. Pendidikan disini bertujuan untuk mengembangkan pemikiran anak, artinya ketika anak-anak mencoba memecahkan masalah, penalaran merekalah yang lebih penting daripada jawabannya. Oleh sebab itu guru penting sekali agar tidak menghukum anak-anak untuk jawaban yang salah, tetapi sebaliknya menanyakan bagaimana anak itu memberi jawaban yang salah, dan diberi pengertian tentang kebenarannya atau mengambil langkah-langkah yang tepat untuk untuk menanggulanginya.
4. Guru dapat menemukan menemukan dan menetapkan tujun pembelajaran materi pelajaran atau pokok bahasan pengajaran tertentu.

Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak mengandung tiga aspek, yaitu structure, content dan function. Anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur dan konten intelektualnya berubah / berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan ; masing-masing . mempunyai struktur psikologi khusus yang menentukan kecakapan pikir anak. Maka Piaget mengartikan intelegensi adalah sejumlah struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus.

E. KRITIK TERHADAP TEORI PIAGET

Kebanyakan ahli psikologi sepenuhnya menerima prinsip-prinsip umum Piaget bahwa pemikiran anak-anak pada dasarnya berbeda dengan pemikiran orang dewasa, dan jenis logika anak-anak itu berubah seiring dengan bertambahnya usia. Namun, ada juga peneliti yang meributkan detail-detail penemuan Piaget, terutama mengenai usia ketika anak mampu menyelesaikan tugas-tugas spesifik.

1. Pada sebuah studi klasik, McGarrigle dan Donalson (1974) menyatakan bahwa anak sudah mampu memahami konservasi (conservation) dalam usia yang lebih muda daripada usia yang diyakini oleh Piaget.
2. Studi lain yang mengkritik teori Piaget yaitu bahwa anak-anak baru mencapai pemahaman tentang objek permanence pada usia di atas 6 bulan. Balillargeon dan De Vos (1991) ; 104 anak diamati sampai mereka berusia 18 tahun, dan diuji dengan berbagai tugas operasional formal berdasarkan tugas-tugas yang dipakai Piaget, termasuk pengujian hipotesa. Mayoritas anak-anak itu memang belum mencapai tahap operasional formal. Hal ini sesuai dengan studi-studi McGarrigle dan Donaldson serta Baillargeon dan DeVos, yang menyatakan bahwa Piaget terlalu meremehkan kemampuan anak-anak kecil dan terlalu menilai tinggi kemampuan anak-anak yang lebih tua
3. dan belum lama ini, Bradmetz (1999) menguji pernyataan Piaget bahwa mayoritas anak mencapai formal pada akhir masa kanak-kanak.
4. Inilah yang menjadi pertentangan dan kritikan diantara para ahli psikologi.



undique
« motivasi vroom
tewas »
terapi kognitif

Untuk mengatasi penderita yang mengalami kecemasan komunikasi antar
pribadi, Markman pada tahun 1977 (dalam Kanfer dan Goldstein, 1986) melakukan
teknik modifikasi perilaku-kognitif dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
modifikasi perilaku-kognitif ternyata efektif untuk mengatasi kecemasan komunikasi
antar pribadi yang dilakukan pada subjek remaja.
Teknik modifikasi perilaku-kognitif merupakan teknik yang sedang
berkembang pesat sejak dekade yang lalu. Meichenbaum (dalam Ivey, 1993)
menggabungkan antara modifikasi perilaku dan terapi kognitif. Modifikasi perilaku-
kognitif didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia secara resiprok dipengaruhi
oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis, serta konsekuensinya pada perilaku. Jadi
bila ingin mengubah perilaku yang maladaptif
dari manusia, maka tidak hanya sekedar mengubah perilakunya saja, namun juga menyangkut aspek kognitifnya.
Modifikasi perilaku-kognitif terdiri dari berbagai prosedur pelatihan yang
berbeda-beda, termasuk di dalamnya antara lain relaksasi, terapi kognitif, dan
pemantauan diri. Modifikasi perilaku-kognitif merupakan gabungan terapi perilaku
dan terapi kognitif. Dalam pelaksanaannya, modifikasi perilaku-kognitif menekankan
pada pemahaman terhadap aspek pengalaman kognisi yang berbeda-beda misalnya
kepercayaan, harapan, imaji,
pemecahan masalah, disamping mempelajari
ketrampilan teknik perilaku (Kanfer dan Goldstein, 1986).
Dalam mempertimbangkan bahwa : (a) komunikasi merupakan hal penting,
sehingga kualitas hidup manusia, hubungan sesama manusia dapat ditingkatkan
dengan memahami dan memperbaiki komunikasi yang dilakukan (b) masalah
kecemasan komunikasi antar pribadi merupakan masalah emosional yang dapat
ditangani dengan modifikasi perilaku-kognitif (c) perlunya ditemukan teknik yang
seefektif mungkin untuk mengatasi kecemasan komunikasi antar pribadi, maka
penulis merasa tertarik dan ingin melakukan studi wacana tentang efektivitas
modifikasi perilaku-kognitif untuk mengatasi masalah kecemasan antar pribadi.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi pendahuluan yang memiliki tujuan untuk mengetahui
efektivitas modifikai perilaku - kognitif untuk mengurangi kecemasan komunikasi
antar pribadi.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari penulisan ini adalah :
1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan bahan kajian tentang penerapan
terapi psikologis dalam mengatasi masalah kecemasan komunikasi antar pribadi.
2. Dengan penelitian ini setidak-tidaknya dapat memberikan wawasan ilmiah bagi
dunia ilmu, khususnya dalam rangka menyebarluaskan manfaat ilmu psikologi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Komunikasi Antar Pribadi
Sejak awal kehidupannya setiap manusia tidak dapat berdiri sendiri. Manusia
yang satu selalu membutuhkan manusia yang lain untuk melangsungkan
kehidupannya. Dari hubungan yang saling membutuhkan manusia mempunyai
lambang-lambang pesan untuk mempertukarkan informasi di antara sesama.
Manusia juga tidak dapat lepas dari hubungan antar sesama manusia, karena
manusia mempunyai keluarga tempat dilahirkan, dipelihara, dan dibesarkan.
Keluarga merupakan tempat manusia tinggal yang tidak dapat terlepas dari
masyarakat tempat keluarga berada.
Pentingnya hubungan yang terjadi antar sesama manusia dikemukakan oleh
Klinger (1977) yang mengatakan bahwa hubungan dengan manusia lain ternyata
sangat mempengaruhi manusia itu sendiri. Manusia tergantung terhadap manusia
lain karena orang lain juga berusaha mempengaruhi melalui pengertian yang
diberikan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Semuanya
membentuk pengetahuan, menguatkan perasaan, dan meneguhkan perilaku
manusia.
Meskipun demikian banyak ahli akhirnya berpendapat bahwa semua yang
menjadi tekanan dalam komunikasi antar pribadi akhirnya menuju pada perspektif
situasi. Perspektif situasi menurut Miller dan Steinberg (dalam Liliweri, 1991)
merupakan situasi suatu perspektif yang menekankan bahwa sukses tidaknya
komunikasi antar pribadi sangat sangat tergantung pada situasi komunikasi,
mengacu pada hubungan tatap muka antara dua individu atau sebagian kecil individu
dengan mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati satu dengan
yang lain pada saat itu juga.
Berdasarkan pendapat Miller dan Steinberg di atas, maka kedudukan
komunikator yang dapat bergantian dengan komunikan pada tahap lanjutan harus
menciptakan suasana hubungan antar manusia yang terlibat di dalamnya. Pada
tahap ini maka komunikasi antar individu harus manusiawi, sehingga individu-
individu yang tidak mengenal satu sama lain mutu komunikasinya kurang daripada
komunikasi antar pribadi di antara pihak-pihak yang sudah saling mengenal
sebelumnya.
Komunikasi antar pribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu
karena setiap pihak memahami secara baik tentang liku-liku hidup pihak lain,
pikiran, perasaan, maupun menanggapi tingkal laku. Kesimpulannya bahwa jika
hendak menciptakan suatu komunikasi antar pribadi yang bermutu maka harus
didahului dengan suatu keakraban.
Batasan pengertian yang benar-benar baik tentang komunikasi antar pribadi
tidak ada yang memuaskan semua pihak. Semua batasan arti sangat tergantung
bagaimana individu melihat dan mengetahui perilaku pada saat terdapat dua individu
atau lebih yang saling mengenal secara pribadi daripada hanya berbasa-basi saja.
Dengan kata lain, tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan antara dua individu
dapat digolongkan komunikasi antar pribadi. Ada tahap-tahap tertentu dalam
interaksi antara dua individu harus terlewati untuk menentukan komunikasi antar
pribadi benar-benar dilakukan.
Ada tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua
individu merupakan komunikasi antar pribadi (Liliweri, 1991). Sifat-sifat komunikasi
antar pribadi itu adalah :
1. Melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan non verbal.
2. Melibatkan perilaku spontan, tepat, dan rasional.
3. Komunikasi antar pribadi tidaklah statis, melainkan dinamis.
4. Melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi, dan koherensi (pernyataan
yang satu harus berkaitan dengan yang lain sebelumnya).
5. Komunikasi antar pribadi dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan
ekstrinsik.
6. Komunikasi antar pribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan.
7. Melibatkan di dalamnya bidang persuasif.
Lebih lanjut, Lunandi (1992) menjelaskan bahwa yang dimaksud komunikasi
antar pribadi yang baik adalah komunikasi yang mempunyai siaft keterbukaan,
kepekaan, dan bersifat umpan balik. Individu merasa puas dalam berkomunikasi
antar pribadi bila ia dapat mengerti orang lain dan merasa bahwa orang lain juga
memahami dirinya.
Lunandi (1992) menekankan pentingnya komunikasi antar pribadi dibedakan
dari bentuk komunikasi di muka umum dan komunikasi di dalam kelompok kecil.
Komunikasi antar pribadi dibatasi pada komunikasi antara orang dengan orang
dalam sitausi tatap muka. Jadi, sama sekali tidak meliputi telekomunikasi jarak jauh
(telepon, telegram, telex) dan komunikasi massa, yang ditujukan kepada sejumlah
orang besar orang sekaligus (surat kabar, radio, televisi). Ada bentuk pendekatan
yang dapat digunakan untuk mendefinisikan komunikasi antar pribadi sebagai bentuk
yang berbeda dari bentuk lain komunikasi. Komunikasi antar pribadi sebagai suatu
kegiatan terus menerus yang dilakukan orang untuk saling berhubungan dengan
orang lain, khususnya pada waktu berhadapan muka.
Miller dan Steinberg (dalam burgoon dan Ruffner, 1978) telah membuat
sumbangan pemikiran yang penting untuk memahami komunikasi manusia dengan
menyajikan cara mengkonsep bentuk komunikasi antar pribadi. Asumsinya adalah
manusia mempunyai kemampuan menyeleksi strategi komunikasi yang akan
memaksimalkan kemungkinan untuk berhasil dalam komunikasi yang dilakukan.
Manusia ternyata mampu untuk membuat prediksi tentang akibat dan hasil dari
komunikasi yang dilakukan. Untuk memprediksi suatu bentuk komunikasi termasuk
komunikasi antar pribadi atau bukan perlu dilakukan pemahaman terhadap
identifikasi 3 data tingkat informasi, yaitu :
1. Data tingkat kebudayaan (Cultural level-data).
Kebudayaan merupakan sekumpulan keteraturan, norma, institusi sosial,
kebiasaan, dan ide-ide yang dimiliki oleh sekumpulan orang. Terkadang kebudayaan
didefinisikan sebagai lokasi geografis, etnis, pola religius. Para ahli menganggap
bahwa orang yang termasuk kelompok kebudayaan yang sama mempunyai
kesamaan cara bertingkah laku dan tampak memiliki sikap dan nilai tertentu.
Dengan demikian, kebudayaan dapat memberi petunjuk bagaimana anggota
kelompok kebudayaan tertentu akan berkomunikasi satu dengan yang lainnya.
Dengan data kebudayaan yang ada, dapat dibuat prediksi atau perkiraan
bagaimana anggota dalam kebudayaan tertentu akan berkomunikasi dan merespon
orang lain. Masalah yang mungkin terjadi ketika seseorang yang hanya mempunyai
data tingkat kebudayaan berhadapan dengan orang lain adalah kesalahpahaman.
Ketika berhadapan dengan individu yang spesifik, seseorang harus berhati-hati untuk
menerapkan perkiraan tentang orang tersebut berdasar data tingkat kebudayaan.
Masing-masing individu yang tergabung dalam suatu kelompok kebudayaan
mempunyai kepribadian sendiri-sendiri.
Para ahli komunikasi berpendapat bahwa dengan hanya menggunakan
strategi yang memiliki data tingkat kebudayaan saja, belum cukup untuk dapat
dikatakan mampu berkomunikasi secara interpersonal atau pribadi. Dengan demikian
berarti seseorang hanya menggeneralisasi data yang diambil dari sebuah kelompok
kebudayaan dan tidak membedakan serta menyesuaikan komunikasi dengan individu
yang berbeda-beda.
2. Data tingkat sosiologis (Sociological-level data).
Analisis data tingkat sosiologis didasarkan pada pertimbangan yang dibuat
tentang orang lain dengan mengetahui kelompok tempat orang tersebut termasuk.
Ada pertimbangan untuk mengelompokkan seseorang ke dalam kelompok tertentu
berdasar keanggotaannya pada bentuk kelompok sosial yang dipilihnya. Namun ada
juga keanggotaan kelompok yang tidak dipilih sendiri oleh yang bersangkutan,
misalnya termasuk ke dalam kelompok orang tua, dewasa, dan remaja.
Bagaimanapun juga, anggota yang termasuk kelompok tertentu, baik yang dipilih
sendiri maupun tidak mempunyai kesamaan dengan anggota lainnya dalam satu
kelompok. Antar kelompok itu sendiri mempunyai perbedaan yang merupakan ciri
dari masing-masing bentuk kelompoknya.
Membuat prediksi berdasar pada analisis data tingkat sosiologis ternyata sulit
bila seseorang berkomunikasi dengan yang lainnya. Data tingkat sosiologis
merupakan generalisasi dari tingkah laku yang ditemui pada keanggotaan setiap
kelompok, yang tidak dapat begitu saja diterapkan pada setiap anggota kelompok.
3. Data tingkat psikologis (Psychological-level data)
Untuk lebih dapat mengenal perbedaan-perbedaan individu dibutuhkan
strategi mengenai data tingkat psikologis. Data tingkat psikologis menuntut adanya
saling mengenal antar individu yang terlibat di dalam transaksi komunikasi.
Walaupun individu mempunyai sekumpulan data mengenai kebudayaan dan
sosiologis seseorang tidak dapat memperkirakan perilaku khusus seseorang yang
dihadapinya. Informasi mengenai data tingkat psikologis tidak dapat dipisahkan dari
proses keintiman yang terjalin, terkadang seseorang memberikan informasi
mengenai dirinya sendiri kepada orang lain, dan mendapatkan informasi balik dari
orang lain mengenai dirinya.
Memperoleh informasi data tingkat psikologis sangat dibutuhkan untuk
mengembangkan komunikasi antar pribadi yang terjalin. Dapat dibayangkan bila
seseorang menggunakan waktunya untuk terlibat dalam komunikasi antar pribadi
dengan orang lain dan tetap merasa hanya memiliki data yang sedikit tentang orang
tersebut, maka komunikasi yang dilakukannya tidak dapat melibatkan emosi yang
mampu mencerminkan kehangatan, keterbukaan, dan dukungan.
Di dalam mengembangkan transaksi komunikasi, individu cenderung untuk
lebih banyak menggunakan data tingkat psikologis. Dengan kata lain, strategi
komunikasi yang dilakukan individu didasarkan pada pengetahuan tentang
perbedaan individu-individu yang dihadapi. Setiap individu memiliki karakteristik
yang unik dan tidak dapat digeneralisasikan begitu saja.
Jadi, di dalam komunikasi antar pribadi yang lebih ditekankan adalah strategi
komunikasi yang berdasar pada data tingkat psikologis. Data tingkat kebudayaan
dan sosiologis digunakan sebagai pelengkap di dalam mengumpulkan data tentang
seseorang yang sedang dihadapi.
Selain kemampuan menganalisis data tingkat psikologis seseorang, di dalam
melakukan transaksi komunikasi antar pribadi, juga dibutuhkan kemampuan-
kemampuan khusus. Bochner dan Kelly (dalam Jandt, 1976) mengemukakan 5
kemampuan khusus di dalam menjalin komunikasi antar pribadi, yaitu : (1) empati,
atau proses kemampuan menangkap hal-hal yang terdapat di dalam komunikasi
dengan orang lain melalui analisis isi pembicaraan, nada suara, ekspresi wajah,
sehingga seseorang dapat menangkap pikiran dan perasaan yang sesuai dengan
orang yang bersangkutan, (2) diskripsi, kemampuan untuk membuat pernyataan
yang konkrit, spesifik, dan diskriptif, (3) kemampuan merasakan dan memahami
pernyataan yang dibuat dan mempertanggungjawabkannya sehingga tidak hanya
menyalahkan orang lain terhadap perasaan yang dialami, (4) sikap kedekatan,
keinginan untuk membicarakan perasaan-perasaan pribadi, (5) tingkah laku yang
fleksibel ketika menghadapi kejadian yang baru dialami.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari batasan tentang komunikasi antar pribadi
adalah bahwa komunikasi antar pribadi lebih dari sekedar komunikasi tatap muka,
namun dari komunikasi tatap muka lebih memungkinkan untuk dikembangkan
menjadi komunikasi antar pribadi. Mengembangkan komunikasi antar pribadi dapat
dengan melakukan analisis data tingkat psikologis yang menekankan bahwa individu
berbeda-beda, dan pendekatannya juga berbeda-beda. Dari komunikasi tatap muka
besar kemungkinan dikembangkan hubungan yang bersifat hangat, terbuka, dan
komunikasi tersebut dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi yang
bersangkutan.
A. Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi
Dalam berkomunikasi antar pribadi dibutuhkan suatu proses timbal balik yang
aktif antara dua individu dalam memberi dan menerima informasi, sehingga terjalin
adanya saling pengertian bagi ke dua belah pihak.
Burgoon dan Ruffner (1978) dalam buku “Human Communication”
menjelaskan hambatan komunikasi (communication apprehension) sebagai bentuk
reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami seseorang ketika
berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum, maupun komunikasi massa. Individu yang mengalami hambatan komunikasi (communication apprehension) akan merasa cemas bila berpartisipasi dalam komunikasi bentuk yang lebih luas, tidak sekedar cemas berbicara di muka umum. Individu tidak mampu untuk mengantisipasi perasaan negatifnya, dan sedapat mungkin berusaha untuk menghindari berkomunikasi. Jadi, istilah hambatan komunikasi (communication apprehension) mencakup kondisi yang lebih luas, baik kecemasan komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa. Dalam penelitian ini yang akan ditekankan adalah pada kecemasan komunikasi antar pribadi.
Individu yang mengalami kecemasan dalam berbagai bentuk, termasuk
cemas ketika berkomunikasi antar pribadi sebenarnya berada dalam kondisi emosi
yang sama sekali tidak menyenangkan (Spielberger, dalam Post dkk.,1978). Lazarus,
(1976) menjelaskan lebih lanjut bahwa perasaan cemas sebenarnya merupakan
pengalaman yang samar-samar disertai dengan adanya perasaan tidak berdaya.
Sifat kecemasan dikatakan subjekif, artinya bahwa kejadian yang menjadi
penyebab dan reaksi yang dialami tiap individu berbeda. Pada umumnya tanda-tanda
yang menyertai kecemasan pada tiap orang adalah sama, yaitu ditandai dengan
perubahan psikologis seperti perasaan tegang, takut, khawatir, perubahan fisiologis
seperti denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah yang meningkat (Lazarus,
1976; Solomon dan nevid, 1974; dalam Post dkk., 1978).
Burgoon dan Ruffner (1978) mengemukakan tentang ciri-ciri kecemasan
komunikasi antar pribadi, yaitu ;
a. Tidak berminat untuk berprestasi dalam berkomunikasi (Unwillingness). Individu
tidak berminat berkomunikasi disebabkan adanya rasa cemas, sifat introvert.
b. Penghindaran (Avoiding).
Individu cenderung menghindar terlibat dalam
berkomunikasi, dapat disebabkan adanya kecemasan, atau kurang informasi
mengenai situasi komunikasi yang akan dihadapi.
c. Skill acquisition/syarat ketrampilan. Teori ini menyatakan bahwa individu akan
merasa cemas bila ia merasa gagal atau tidak berhasil mengembangkan
ketrampilannya dalam berkomunikasi.
d. Modelling/peniruan. Teori ini
menjelaskan bahwa kecemasan komunikasi
berkembang dari proses imitasi terhadap orang lain yang diamati oleh
seseorang di dalam interaksi sosialnya.
Burgoon dan Ruffner (1978) juga menyebutkan adanya satu faktor kurangnya
pengalaman atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan
individu sehingga mengakibatkan individu cenderung menghindari komunikasi.
B. Modifikasi Perilaku-Kognitif
Berbagai penelitian tentang terapi kecemasan komunikasi antar pribadi di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa modifikasi perilaku-kognitif efektif untuk
mengatasi individu yang mengalami kecemasan komunikasi antar pribadi (Markman
dalam Kanfer dan Goldstein, 1986).
Modifikasi perilaku-kognitif merupakan teknik menggabungkan terapi kognitif dan
bentuk modifikasi perilaku (Meichenbaum dalam Kanfer dan Goldstein, 1986).
Individu yang akan bertindak, sebelumnya didahului adanya proses berpikir,
sehingga bila ingin mengubah suatu perilaku yang tidak adaptif, terlebih dahulu
harus memahami aspek-aspek yang berada dalam pengalaman kognitif dan usaha
untuk membangun perilaku adaptif melalui mempelajari ketrampilan-ketrampilan
yang terdapat pada terapi perilakuan (Meichenbaum & Goldstein, 1986).
Meichenbaum (dalam Ivey, 1993) menekankan interaksi antara manusia dan
lingkungan. Perilaku terjadi secara resiprok dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan,
proses fisiologis dan konsekuensi perilaku. Modifikasi perilaku-kognitif merupakan
bentuk terapi yang ingin melihat bahwa individu tidak hanya dipahami melalui
perilaku yang tampak saja seperti yang dilihat oleh pihak perilakuan (behaviorist),
namun dibalik tingkah laku yang tampak terdapat proses internal yang sebenarnya
merupakan hasil pemikiran kognisi.

BAB III
PEMBAHASAN
Meichenbaum (dalam Kanfer & Goldstein, 1986) menyatakan bahwa tidak
mudah untuk menjelaskan definisi modifikasi perilaku-kognitif. Di dalam modifikasi perilaku-kognitif terdapat berbagai macam prosedur, termasuk di dalamnya misalnya terapi kognitif, terapi emotif rasional, latihan penurunan stress, latihan pengelolaan kecemasan, kontrol diri, dan latihan instruksi diri.
Meichenbaum yang merupakan seorang tokoh yang berpengaruh di dalam
modifikasi perilaku-kognitif (Ivey, 1993) mengemukakan pandangannya bahwa
modifikasi perilaku-kognitif dilakukan berkenaan untuk menolong klien
mendefinisikan problem kognitif dan perilakunya, dengan mengembangkan kognisi,
emosi, perubahan perilaku dan mencegah kambuh kembali.
Adapun asumsi yang mendasari modifikasi perilaku kognitif adalah :
1. Kognisi yang tidak adaptif mengarah pada pembentukan tingkah laku yang tidak
adaptif pula
1. Peningkatan diri yang adaptif dapat ditempuh melalui peningkatan pemikiran yang positif
2. Klien dapat mempelajari peningkatan pemikiran mengenai sikap, pikiran, dan
tingkah laku. Jadi, dari penjelasan di atas, secara singkat modifikasi perilaku-kognitif dapat
diartikan sebagai suatu teknik yang secara simultan berusaha memperkuat
timbulnya perilaku adaptif dan memperlemah timbulnya perilaku yang tidak adaptif
melalui pemahaman proses internal yaitu aspek kognisi tentang pikiran yang kurang
rasional dan upaya pelatihan ketrampilan coping yang sesuai.
A. Prinsip-prinsip Modifikasi Perilaku-Kognitif
Sebelum proses terapi dimulai, terapis perlu terlebih dahulu menjelaskan
susunan terapi kepada subjek, yang meliputi penjelasan tentang sudut pandang teori modifikasi perilaku dan teori terapi kognitif terhadap perilaku yang tidak adaptif, prinsip yang melandasi prosedur modifikasi perilakukognitif, dan tentang langkah-langkah di dalam terapi. Penjelasan ini penting perannya untuk meningkatkan motivasi individu dan menjalin kerjasama yang baik. Perlu pula dijelaskan bahwa fungsi terapis hanyalah sebagai fasilitator timbulnya perilaku yang dikehendaki, dan individu yang berperan aktif dalam proses terapi (Ivey, 1993). Oleh karena itu individu harus benar-benar terampil menggunakan prinsip-prinsip terapi kognitif dan modifikasi perilaku dengan masalah yang dialaminya, dan peran terapis penting dalam mengajak individu memahami perasaannya dan teknik terapi yang efektif untuk terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki.
Terkait dengan perlunya pemahaman tentang prinsip-prinsip modifikasi
perilaku-kognitif, Meichenbaum (dalam Ivey, 1993) mengemukakan 10 hal yang
harus diperhatikan seorang terapis dalam penggunaan modifikasi perilaku-kognitif,
yaitu :
1. Terapis perlu memahami bahwa perilaku klien ditentukan oleh pikiran, perasaan,
proses fisiologis, dan akibat yang dialaminya. Terapis dapat memasuki sistem
interaksi dengan memfokuskan pada pikiran, perasaan, proses fisiologis, dan
perilaku yang dihasilkan klien.
2. Proses kognitif sebenarnya tidak menyebabkan kesulitan emosional, namun yang
menyebabkan kesulitan emosional adalah karena proses kognitif itu sendiri
merupakan proses interaksi yang kompleks. Bagian penting dari proses
kognisi adalah meta-kognisi yaitu klien berusaha untuk memberi komentar
secara internal pada pola pemikiran dan perilakunya saat itu. Strukutur
kognisi yang dibuat individu untuk mengorganisasi pengalaman adalah
personal schema. Terapis perlu memahami personal schema yang digunakan
oleh klien untuk lebih mamahami masalah yang dialami klien. Perubahan
personal schema yang tidak efektif adalah bagian yang penting dari terapi.
3. Tugas penting dari seorang terapis adalah menolong klien untuk memahami cara
klien membentuk dan menafsirkan realitas.
4. Modifikasi perilaku-kognitif memahami persoalan dengan pendekatan psikoterapi yang diambil dari sisi rasional atau objektif.
5. Modifikasi perilaku-kognitif ditekankan pada penjabaran serta penemuan proses
pemahaman pengalaman klien.
6. Dimensi yang cukup penting adalah untuk mencegah kekambuhan kembali.
7. Modifikasi perilaku-kognitif melihat bahwa hubungan baik yang dibangun antara
klien dan terapis merupakan sesuatu yang penting dalam proses perubahan
klien.
8. Emosi memainkan peran yang penting dalam terapi, untuk itu klien perlu dibawa
ke dalam suasana terapi yang mengungkap pengalaman emosi.
9. Terapis perlu menjalin kerjasama dengan pihak keluarga ataupun pasangan klien.
10. Modifikasi perilaku-kognitif dapat diperluas sebagai proses pencegahan t
timbulnya perilaku maladaptif.
B. Pengukuran Dalam Modifikasi Perilaku-Kognitif
Pengukuran merupakan hal yang penting dalam modifikasi perilaku-kognitif.
Pengukuran yang cermat perlu dilakukan sebelum, selama, dan setelah terapi
(Hersen & Bellack, 1977). Melalui pengukuran akan diperoleh data yang berguna
untuk melakukan identifikasi, klasifikasi, prediksi, spesifikasi, dan evaluasi.
Terapis perlu mengidentifikasi faktor-faktor pada subjek yang dapat menjadi
penghambat ataupun pendorong timbulnya perilaku subjek, aspek biologis, dan
anatomis.
Setelah informasi diperoleh, terapis dapat melakukan klasifikasi perilaku yang
tidak adaptif, dan perilaku yang adaptif.
Prediksi yang dilakukan terutama terkait dengan kontrol yang bersifat
terapiutik untuk munculnya perilaku adaptif.
Langkah selanjutnya adalah menentukan teknik serta tujuan yang ingin
dicapai. Evaluasi dilakukan untuk mengetahu seberapa jauh efek pelatihan
berpengaruh terhadap subjek.
C. Macam-macam Modifikasi Perilaku-Kognitif
Modifikasi perilaku-kognitif terdiri dari bermacam-macam teknik. Pada bagian
ini akan dibahas teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini.
(a)Teknik relaksasi. Teknik ini dilakukan berdasar pada asumsi bahwa
individu dapat secara sadar untuk belajar merilekskan otot-ototnya sesuai dengan
keinginannya melalui suatu cara yang sistematis (Jacobson dalam walker dkk.,
1981). Ada bermacam-macam teknik relaksasi, salah satunya yaitu teknik relaxation via letting go agar subjek mampu melepaskan ketegangan dan akhirnya mencapai keadaan tanpa ketegangan. Diharapkan subjek belajar menyadari ketegangannya dengan menegangkan otot-ototnya dan berusaha untuk sedapat mungkin mengurang dan menghilangkan ketegangan otot tersebut. Selain itu dilatihkan pula teknik differential relaxation yang mengajarkan kepada subjek ketrampilan untuk merilekskan otot-otot yang tidak mendukung aktivitas yang dilakukan, karena dalam keadaan cemas seluruh otot cenderung tegang, walau otot tersebut kurang berperan dalam aktivitas tertentu. Pada penelitian ini materi teknik relaksasi yang digunakan diambil dari materi relaksasi yang digunakan oleh Andajani (1990).
(b)Teknik pemantauan diri. Teknik ini berfungsi sebagai alat pengumpul data
sekaligus berfungsi terapiutik. Dasar pemikiran teknik ini adalah pemantauan diri
terkait dengan evaluasi diri dan pengukuhan diri (Kanfer, dikutip Andajani, 1990).
Subjek memantau dan mencatat perilakunya sendiri, sehingga lebih menyadari
perilakunya setiap saat.
Beberapa langkah dalam teknik pemantauan diri adalah sebagai berikut : (a)
mendiskusikan dengan subjek tentang pentingnya subjek memantau dan mencatat
perilakunya secara teliti, (b) subjek dan terapis secara bersama-sama menentukan
jenis perilaku yang hendak dipantau, (c) mendiskusikan saat-saat pemantauan
dilaksanakan, (d) terapis menunjukkan pada subjek cara mencatat data, (e) role
play. Pemantauan diri hendaknya dilakukan untuk satu jenis perilaku dan relatif
merupakan respon yang sederhana (Kanfer, 1975).
(c) Teknik kognitif. Dasar pikiran teknik kognitif adalah bahwa proses kognitif
sangat berpengaruh terhadap perilaku yang ditampakan oleh individu. Burns (1988)
mengungkapkan bahwa perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang
dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran individu tersebut belum tentu
merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami
sebenarnya. Penyimpangan proses kognitif oleh Burns (1988) juga disebut dengan
distorsi kognitif. Pemikiran Burns merupakan pengembangan dari pendapat Goldfried
dan Davison (1976) yang menyatakan bahwa reaksi emosional tidak menyenangkan
yang dialami individu dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan
mengenai dirinya sendiri mungkin tidak rasional, untuk selanjutnya individu belajar
membangun pikiran yang objektif dan rasional terhadap peristiwa yang dialami.
Distorsi kognitif (Burns, 1988) yang dapat dialami oleh individu terdiri dari
penyimpangan pemikiran-pemikiran dapat dipaparkan sebagai berikut :
1. Pemikiran “Segalanya atau Tidak Sama Sekali”. Pemikiran ini menunjuk pada
kecenderungan individu untuk mengevaluasi kualitas pribadi diri sendiri dalam
kategori ‘hitam atau putih’ secara ekstrim. Pemikiran ‘bila saya tidak begini maka
saya bukan apa-apa sama sekali” merupakan dasar dari perfeksionisme yang
menuntut kesempurnaan. Pemikiran ini menyebabkan individu takut terhadap
kesalahan atau ketidaksempurnaan apapun, sehingga untuk selanjutnya individu
akan memandang dirinya sebagai pribadi yang kalah total, dan individu akan
merasa tidak berdaya.
2. Terlalu Menggeneralisasi. Individu yangmelakukan pemikiran terlalu
menggeneralisasi terhadap peristiwa yang dihadapinya maka individu tersebut
menyimpulkan bahwa satu hal yang pernah terjadi pada dirinya akan terjadi lagi
berulang kali. karena apa yang pernah terjadi sangat tidak menyenangkan, maka
individu selalu senantiasa merasa terganggu dan sedih.
3. Filter Mental. Pemikiran ini menunjuk kecenderungan individu untuk mengambilsuatu hal negatif dalam situasi tertentu, terus memikirkannya, dan dengan demikian individu tersebut mempersepsikan seluruh situasi sebagai hal yang negatif. Dalam hal ini individu yang bersangkutan tidak menyadari adanya
“proses penyaringan”, maka individu lalu menyimpulkan bahwa segalanya selalu
negatif. Istilah teknis untuk proses ini ialah “abstraksi selektif”.
4. Mendiskualifikasikan yang Positif. Suatu pemikiran yang dilakukan oleh individu
yang tidak hanya sekedar mengabaikan pengalaman-pengalaman yang positif,
tetapi juga mengubah semua pengalaman yang dialaminya menjadi hal yang
negatif.
5. Loncatan ke Kesimpulan. Individu melakukan pemikiran meloncat ke suatu
kesimpulan negatif yang tidak didukung oleh fakta dari situasi yang ada. Dua
jenis distorsi kognitif ini adalah “membaca pikiran” dan “kesalahan peramal”.
Membaca pikiran yaitu individu berasumsi bahwa orang lain sedang memandang
rendah dirinya, dan individu tersebut yakin akan hal ini sehingga dirinya sama
sekali tidak berminat untuk mengecek kembali kebenarannya.
Kesalahan peramal yaitu kecenderungan individu untuk membayangkan sesuatu
yang buruk akan terjadi, dan individu tersebut menganggap pemikirannya
sebagai suatu fakta walaupun sama sekali tidak realistis.
6. Pembesaran dan Pengecilan.Individu memiliki kecenderungan untuk memperbesar atau memperkecil hal-hal yang dialaminya di luar proporsinya. Pembesaran yaitu individu akan melebih-lebihkan kesalahan, ketakutan, atau ketidaksempurnaan dirinya.
Pengecilan yaitu individu akan mengecilkan nilai dari kemampuan dirinya
sehingga kemampuan yang dimilikinya tampak menjadi kecil dan tidak berarti.
Jika individu membesar-besarkan ketidaksempurnaan dirinya serta memperkecil
kemampuannya, maka individu akan merasa dirinya rendah dan tidak berarti.
7. Penalaran Emosional. Individu menggunakan emosinya sebagai bukti untuk
kebenaran yang dikehendakinya. Penalaran emosional akan menyesatkan sebab
perasaan individulah yang menjadi cermin pemikiran serta keyakinannya, bukan
kondisi yang sebenarnya.
8 Pernyataan “Harus”. Individu mencoba memotivasi diri sendiri dengan mengata-
kan “Saya harus melakukan pekerjaan ini”. Pernyataan tersebut menyebabkan
individu merasa tertekan, sehingga
menjadi tidak termotivasi. Bila individu
menunjukkan pernyataan “harus” kepada orang lain, maka individu akan mudah
frustasi ketika mengalami kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya.
9 Memberi Cap dan Salah Memberi Cap. Memberi Cap pribadi berarti
menciptakan gambaran diri yang negatif yang didasarkan pada kesalahan
individu. Ini merupakan bentuk ekstrim dari terlalu menggeneralisasi. Pemikiran
dibalik distorsi kognitif ini adalah nilai individu terletak pada kesalahan yang
dibuatnya, bukan pada kelebihan potensi dirinya. Salah memberi cap berarti
menciptakan gambaran negatif didasarkan emosi yang dialami saat itu.
10 Personalisasi. Individu merasa bertanggung jawab atas peristiwa negatif yang
terjadi, walaupun sebenarnya peristiwa bukan merupakan kesalahan dirinya.
Jadi, individu memandang dirinya sebagai penyebab dari suatu peristiwa yang
negatif, yang dalam kenyataan sebenarnya bukan individu yang harus
bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut.
D. Efektivitas Modifikasi Perilaku-Kognitif untuk mengurangi Kecemasan
Komunikasi Antar Pribadi.
Berikut ini akan dipaparkan peranan masing-masing teknik yang digunakan
pada penelitian ini terhadap pengendalian kecemasan komunikasi antar pribadi.
1. Peranan Teknik Relaksasi pada Pengendalian Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi
Individu perlu membuat dirinya dalam keadaan rileks pada saat individu
menyadari pikiran-pikirannya yang tidak rasional dan melihat peristiwa yang
dihadapinya secara objektif dan rasional, sehingga tercapai keadaan individu yang
mampu mengurangi perasaan tidak menyenangkan. Teknik relaksasi dipelajari untuk
meningkatkan kemampuan menyadari ketegangan otot yang terjadi pada saat
mengalami kecemasan komunikasi antar pribadi dan secara sistematis meredakan
ketegangan tersebut mencapai keadaan rileks.
Pada saat individu merasa cemas, maka sebenarnya otot-otot tubuhnya
mengalami ketegangan terutama pada otot sekitar wajah, dan leher. Denyut jantung juga menjadi berdetak lebih keras. Ketegangan pada otot-otot tersebut
menyebabkan individu semakin sulit untuk melakukan komunikasi, denyut jantung
yang berdebar membuat seseorang menjadi merasa cemas dan tidak mampu
berpikir tentang hal-hal yang ingin diungkapkan. Dengan melatih tubuh menjadi
rileks, maka ketika individu merasa tegang ia menjadi lebih cepat sadar tentang
kondisi dirinya yang tegang. Ketika individu telah berhasil meredakan ketegangan
tubuhnya, ia akan lebih mampu berpikir lebih baik tentang hal-hal yang ingin
diungkapkan.

2. Peranan Teknik Pemantauan Diri pada Pengendalian Kecemasan Komunikasi Antar
Pribadi
Teknik pemantauan diri dilaksanakan dengan tujuan peningkatan kesadaran
individu tentang perilaku dirinya, melalui pemantauan serta pencatatan sehingga
diharapkan individu yang bersangkutan mempunyai pemahaman yang objekif
terhadap perilakunya (Kanfer, 1975). Soekadji (1983) menegaskan pentingnya
pemantauan diri dan pencatatan data pada subjek agar tidak menimbulkan kesan
yang salah bahwa ada perubahan perilaku yang sebenarnya hanya merupakan
harapannya saja.
Proses pemantauan diri dan pencatatan data dapat menimbulkan perubahan
frekuensi perilaku tidak adaptif, karena dalam proses tersebut juga terjadi proses
evaluasi dan pengukuhan diri (Kanfer, 1975).
Pencatatan yang dilakukan individu akan membantu individu tersebut untuk
lebih memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi sehari-hari, perasaan-perasaan
yang dialami ketika berkomunikasi dengan individu lain.
Dengan latihan pencatatan pemantauan diri maka individu lebih menyelami
perasaannya dan mampu mengoreksi perasaan negatif yang dialaminya.
3. Peranan Teknik Komunikasi pada Pengendalian Kecemasan Komunikasi Antar
Pribadi
Teknik ini bertujuan untuk mengajarkan kemampuan aspek kognitif yang
berperan untuk pembentukan perilaku yang dikehendaki (Goldfried dan Davison,
1976). Individu mengembangkan perilakunya yang adaptif maupun tidak adaptif dan
pola perasaan melalui proses kognitif (Burns, 1988). Kesadaran individu bahwa
kecemasannya dalam berkomunikasi antar pribadi disebabkan oleh adanya pikiran
dan persepsi yang tidak rasional dan kemampuan untuk menggantikan pikiran-
pikiran tidak rasional dengan pikiran objektif membuat individu lebih terkendali
(Markman dalam Kanfer dan Goldstein, 1986). Dengan demikian individu melakukan
evaluasi terhadap pernyataan- pernyataan diri yang menimbulkan kecemasan,
menghentikan pikiran-pikiran tersebut, dan kemudian membuat pernyataan-
pernyataan diri yang objektif serta rasional (Bellack dan Hersen, 1977).
Individu yang merasa cemas ketika berkomunikasi antara pribadi sebenarnya
mengalami beberapa distorsi kognitif yang tidak disadarinya. Dengan individu
menyadari bahwa ternyata ada beberapa distorsi kognitif, maka diharapkan individu
tersebut mampu mengatasi rasa cemasnya dengan memperbaiki pola pemikirannya.

DAFTAR PUSTAKA
Andajani, A. S. 1990. Efektivitas Teknik Kontrol Diri pada Pengendalian Kemarahan.
Skripsi (Tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.
Azwar, S. 1986. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Liberty.
Bellack, A. S. and Hersen, M. 1977. Behavior Modification : An Introductory
Textbook. New York: Oxford University Press.
Burgoon, M. and Ruffner, M. 1978. Human Communication. New York: Holt
Rinehart and Winston.
Burns, D. D. 1988. Terapi Kognitif. Pendekatan baru Bagi Penanganan Depresi.
Jakarta: Penerbit Airlangga.
Goldfried, M. R., and Davison, G. L. 1976. Clinical Behavior Therapy. New York :
Holt Rinehart and Winston.
Hadi, S. 1984. Metodologi Research jilid II. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan
Fakultas Psikologi UGM.
Hurt, T. H. 1978. Communication in the Classroom. Menlopark: Addison Wesley.
Ivey, A. E., Ivey, M. B., Simek, L. Morgan. 1993. Conseling and Psychotherapy. A
Multicultural Perspective. Boston : Allyn and Bacon a Division of Simon and
Schuster, Inc.
Jandt, F. E. 1976. The Process of Interpersonal Communication. New York: Harper
and Row Publisher Inc.
Kanfer, F. H. and Goldstein, A.P. 1986. Helping People Change. New York :
Pergamon Press.
Kindred, J. 1984. Interpersonal Communication. Minneapolis: University of
Minnesota Press.
Lazarus, R. S. 1969. Pattern of Adjusment and Human Effectiveness. New York: Mc
Graw- Hill Book Company.
Liliweri, A. 1991. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Lunandi, A.G. 1992. Komunikasi mengena. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Mariani, K. 1991. Hubungan antara Sifat Pemantauan Diri dengan Kecemasan dalam
Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Psikologi dan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
Soetarlinah S. 1983. Modifikasi perilaku: Penerapan Sehari-hari dan Penerapan
Profesional. Yogyakarta : Liberty.
2002 digitized by USU digital library
16
Utami , M.S. 1991. Efektivitas Relaksasi dan Terapi Kognitif untuk Mengurangi
Kecemasan Berbicara di Muka Umum. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Pasca
Sarjana
UGM.
Walker, C. E., Clement, P. W. 1981. Clinical Procedures for Behavior Therapy. New
Jersey: Prentice - Hall Inc. Englewood Cliffs.


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejarah aktivitas manusia berkomunikasi timbul sejak manusia diciptakan
hidup di dunia ini. Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dengan manusia lain
untuk melangsungkan kehidupannya. Di dalam berinteraksi antara manusia yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat terlepas dari kegiatan komunikasi. Manusia yang
normal akan selalu terlibat komunikasi dalam melakukan interaksi dengan sesamanya
sepanjang kehidupannya. Melalui komunikasi pula, segala aspek kehidupan manusia
di dunia tersentuh.
Kata komunikasi berasal dari bahasa latin "communico" yang dalam bahasa
lnggris berarti "to share". Dalam hal ini dapat diartikan bahwa komunikasi adalah
proses memberi dan menerima dari pihak yang satu kepada pihak lain. Komunikasi
dapat digunakan untuk membentuk sating pengertian sehingga menumbuhkan tali
persahabatan, menyampaikan informasi, mengungkapkan perasaan kasih sayang, dan
untuk melestarikan peradaban manusia (Kindred, 1984). Komunikasi dapat pula
menumbuhkan permusuhan, menanarnkan perasaan benci, dan mengakibatkan
perpecahan di antara manusia itu sendiri. Ternyata, begitu penting, luas, dan eratnya
komunikasi dengan kehidupan, sehingga terkadang manusia tidak lagi merasakan
makna komunikasi dan merasa tidak perlu lagi untuk memahami hal-hal yang
berkaitan dengan komunikasi.
Besarnya peranan komunikasi dalam kehidupan manusia memancing
timbulnya penelitian secara ilmiah untuk mengetahui jumlah waktu yang digunakan
manusia untuk berkomunikasi. Hasil penelitian rang dilakukan Berlo tahun 1980
(dalam Mariani, 1991) menunjukkan bahwa 70% waktu aktif manusia di Amerika
Serikat digunakan untuk berkomunikasi. Penelitian pada hal yang sama di Indonesia
sepengetahuan penulis belum pemah dilakukan, sehingga penulis belum dapat
membandingkannya dengan kondisi di Indonesia. Perbedaan kultur antara Indonesia
dengan Amerika tentunya akan membawa pengaruh yang berbeda dalam penggunaan
waktu aktif untuk berkomunikasi.
Komunikasi bila dilihat dari segi bentuk komunikasinya secara garis besar
dibagi ke dalam tiga sistem (Liliweri, 1991), yaitu :
a. Komunikasi pribadi yang terbagi menjadi dua, yakni :
1) Komunikasi intra pribadi yaitu proses komunikasi yang berlangsung dalam
diri seseorang
2) Komunikasi antar pribadi yaitu proses komunikasi yang berlangsung antara
individu satu dengan individu lainnya
b. Komunikasi kelompok: proses komunikasi yang terjadi pada suatu kelompok
manusia, terbagi dalam :


1
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
1) Kelompok kecil yaitu kuliah, diskusi panel, simposium seminar
2) Kelompok besar atau komunikasi di derail umum (Public speaking)
c. Komunikasi massa: pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada
sejumlah besar individu.

Bentuk komunikasi yang begitu akrab di dalam interaksi sesama manusia
adalah bentuk komunikasi antar pribadi. Komunikasi antar pribadi sebenarnya adalah
bukan sekadar komunikasi yang terjalin antara dua orang tanpa perantara media (face
to face). Burgoon dan Ruffner (1978) mengatakan bahwa komunikasi antar pribadi
harus dibedakan dari berbicara di muka umum maupun komunikasi di dalam
kelompok. Komunikasi antar pribadi juga harus mampu mencerminkan bahwa
manusia yang berkomunikasi mampu mengekspresikan kehangatan, keterbukaan,
dukungan terhadap pihak yang sedang diajak berkomunikasi. Erat kaitannya dengan
masalah komunikasi antar pribadi, Bochner dan Kelly (dalam Jandt, 1976)
mengemukakan adanya kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam menjalin
komunikasi antar pribadi, yaitu: (1) empati, atau proses kemampuan menangkap hal-
hal yang terdapat di dalam komunikasi dengan orang lain dengan cara menganalisis
isi pembicaraan, nada suara sehingga seseorang dapat menangkap pikiran dan
perasaan yang sesuai dengan orang yang bersangkutan, (2) diskripsi, kemampuan
untuk membuat pernyataan yang konkrit, spesifik, diskriptif, (3) kemampuan
merasakan dan memahami pernyataan yang dibuat dan mempertanggungjawabkannya
sehingga tidak hanya menyalahkan orang lain terhadap perasaan yang dialami, (4)
sikap kedekatan, keinginan untuk membicarakan perasaan-perasaan pribadi, (5)
tingkah laku yang fleksibel ketika menghadapi kejadian yang baru dialami.
Meskipun komunikasi antar pribadi telah menjadi bagian hidup manusia,
banyak permasalahan yang timbul berkenaan dengan komunikasi. Perselisihan yang
tedadi antara dua sahabat akibat salah paham, dapat bersumber dari kesalahan
komunikasi. Suatu keluarga dapat terbentuk menjadi harmonis atau tidak harmonis
dapat dilacak dari hubungan komunikasi yang terjadi di keluarga tersebut (Cosby,
1987).
Salah satu masalah yang dihadapi manusia dalam berkomunikasi dikenal
dengan istilah hambatan komunikasi (communication apprehension). Burgoon dan
Ruffner (1978) dalam buku "Human Communication" menjelaskan bahwa
communication apprehension merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan
reaksi negatif dalam bentuk kecemasan yang dialami seseorang dalam pengalaman
komunikasinya, baik itu kecemasan berbicara di muka umum maupun kecemasan
komunikasi antar pribadi.
Orang yang mengalami hambatan komunikasi (communication apprehension)
akan merasa sulit dan merasa cemas ketika harus berkomunikasi antar pribadi dengan
manusia lain, sehingga tidak mampu mencerminkan rasa kehangatan, keterbukaan,
dan dukungan. Peristiwa komunikasi antar pribadi sebenamya mampu menimbulkan
perasaan senang bagi pihak yang bersangkutan atau menjadi peristiwa yang tidak
menarik, dan bahkan cenderung untuk dihindari. Individu yang mengalami kecemasan
dalam berkomunikasi akan merasakan adanya perubahan psikis dan fisiologis.
Perubahan psikis yang dialami individu yang cemas ditandai dengan perasaan tegang,
khawatir, dan takut. Perubahan fisiologis yang terjadi ketika cemas yaitu denyut
jantung, pernafasan, dan tekanan darah yang meningkat (Lazarus, 1976; Solomon clan
Nevid, 1974; Spielberger, dalam Post dkk., 1978)
Masalah kecemasan berkomunikasi ternyata merupakan suatu masalah yang
menarik, sehingga banyak peneliti di luar negeri yang melakukan penelitian. Hasil

2
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
penelitian Croskey (dalam Mariani, 1991) menunjukkan bahwa 15-20% mahasiswa di
Amerika Serikat menderita hambatan komunikasi communication apprehension.
Peneliti yang lain yaitu Hurt (1978) juga melaporkan hasil penelitiannya bahwa 10-
20% mahasiswa di berbagai Perguruan Tinggi Amerika menderita kecemasan
berkomunikasi. Burgoon clan Ruffner (1978) yang melakukan penelitiannya di
Amerika Serikat mengemukakan bahwa 10-20% populasi di Amerika Serikat
mengalami kecemasan berkomunikasi yang sangat tinggi, dan sekitar 20% yang
mengalami kecemasan komunikasi yang cukup tinggi.
Masalah kecemasan komunikasi antar pribadi di Indonesia telah diteliti oleh
Mariani (1991). la menemukan bahwa 8% dari 189 subjek penelitian yang terdiri dari
mahasiswa Fakultas Psikologi dan Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
mengalami kecemasan komunikasi antar pribadi.
Untuk mengatasi penderita yang mengalami kecemasan komunikasi antar
pribadi, Markman pada tahun 1977 (dalam Kanfer clan Goldstein, 1986) melakukan,
teknik modifikasi perilaku-kognitif dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
modifikasi perilaku-kognitif ternyata efektif untuk mengatasi kecemasan komunikasi
antar pribadi yang dilakukan pada subjek remaja.
Teknik modifikasi perilaku-kognitif merupakan teknik yang sedang
berkembang pesat sejak dekade yang lalu. Mchenbaum (dalam Ivey, 1993)
menggabungkan antara modifikasi perilaku dan terapi kognitif. Modifikasi perilaku
kognitif didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia secara resiprok dipengaruhi
oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis, serta konsekuensinya pada perilaku. Jadi
bila ingin mengubah perilaku yang maladaptif dari manusia, maka tidak hanya
sekedar mengubah perilakunya saja, namun juga menyangkut aspek kognitifnya.
Modifikasi perilaku-kognitif terdiri dari berbagai prosedur pelatihan yang
berbeda-beda, termasuk di dalamnya antara lain relaksasi, terapi kognitif, dan
pemantauan diri. Modifikasi perilaku-kognitif merupakan gabungan terapi perilaku
dan terapi kognitif. Dalam pelaksanaannya, modifikasi perilaku-kognitif menekankan
pada pemahaman terhadap aspek pengalaman kognisi yang berbeda-beda misalnya
kepercayaan, harapan, imaji, pemecahan masalah, disamping mempelajari
ketrampilan teknik perilaku (Kanfer dan Goldstein, 1986).
Dalam mempertimbangkan bahwa: (a)komunikasi merupakan hal penting,
sehingga kualitas hidup manusia, hubungan sesama manusia dapat ditingkatkan
dengan memahami dan memperbaiki komunikasi yang dilakukan (b) masalah
kecemasan komunikasi antar pribadi merupakan masalah emosional yang dapat
ditangani dengan modifikasi perilaku-kognitif (c) perlunya ditemukan teknik yang
seefektif mungkin untuk mengatasi kecemasan komunikasi antar pribadi, maka
penulis merasa tertarik dan ingin melakukan studi wacana tentang efektivitas
modifikasi perilaku-kognitif untuk mengatasi masalah kecemasan antar pribadi.

B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi pendahuluan yang memiliki tujuan untuk
mengetahui efektivitas modifikai perilaku - kognitif untuk mengurangi kecemasan
komunikasi antar pribadi.

C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari penulisan ini adalah:
1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan bahan kajian tentang penerapan
terapi psikologis dalam mengatasi masalah kecemasan komunikasi antar pribadi.

3
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
2. Dengan penelitian ini setidak-tidaknya dapat memberikan wawasan ilmiah bagi
dunia ilmu, khususnya dalam rangka menyebarluaskan manfaat ilmu psikologi.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Komunikasi Antar Pribadi
Sejak awal kehidupannya setiap manusia tidak dapat berdiri sendiri. Manusia
yang satu selalu membutuhkan manusia yang lain untuk melangsungkan
kehidupannya. Dari hubungan yang saling membutuhkan manusia mempunyai
lambang-lambang pesan untuk mempertukarkan informasi di antara sesama. Manusia
juga tidak dapat lepas dari hubungan antar sesama manusia, karena manusia
mempunyai ke1uarga tempat dilahirkan, dipelihara, dan dibesarkan. Keluarga
merupakan tempat manusia tinggal yang tidak dapat terlepas dari masyarakat tempat
keluarga berada.
Pentingnya hubungan yang terjadi antar sesama manusia dikemukakan oleh
Klinger (1977) yang mengatakan bahwa hubungan dengan manusia lain ternyata
sangat mempengaruhi manusia itu sendiri. Manusia tergantung terhadap manusia lain
karena orang lain juga berusaha mempengaruhi melalui pengertian yang diberikan,
informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Semuanya membentuk
pengetahuan, menguatkan perasaan, dan meneguhkan perilaku manusia.
Meskipun demikian banyak ahli akhirnya berpendapat bahwa semua yang
menjadi tekanan dalam komunikasi antar pribadi akhirnya menuju pada perspektif
situasi. Perspektif situasi menurut Miller dan Steinberg (dalam Liliweri, 1991)
merupakan situasi suatu perspektif yang menekankan bahwa sukses tidaknya
komunikasi antar pribadi sangat sangat tergantung pada situasi komunikasi, mengacu
pada hubungan tatap muka antara dua individu atau sebagian kecil individu dengan
mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati satu dengan yang lain
pada saat itu juga.
Berdasarkan pendapat Miller dan Steinberg di atas, maka kedudukan
komunikator yang dapat bergantian dengan komunikan pada tahap lanjutan harus
menciptakan suasana hubungan antar manusia yang terlibat di dalamnya. Pada tahap
ini maka komunikasi antar individu harus manusiawi, sehingga individu-individu
yang tidak mengenal satu sama lain mutu komunikasinya kurang daripada komunikasi
antar pribadi di antara pihak-pihak yang sudah sating mengenal sebelumnya.
Komunikasi antar pribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu
karena setiap pihak memahami secara baik tentang liku-liku hidup pihak lain, pikiran,
perasaan, maupun menanggapi tingkal laku. Kesimpulannya bahwa jika hendak
menciptakan suatu komunikasi antar pribadi yang bermutu maka harus didahului
dengan suatu keakraban.
Batasan pengertian yang benar-benar baik tentang komunikasi antar pribadi
tidak ada yang memuaskan semua pihak. Semua batasan arti sangat tergantung
bagaimana individu melihat dan mengetahui perilaku pada saat terdapat dua individu
atau lebih yang saling mengenal secara pribadi daripada hanya berbasa-basi saja.
Dengan kata lain, tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan antara dua individu
dapat digolongkan komunikasi antar pribadi. Ada tahap-tahap tertentu dalam interaksi
antara dua individu harus terlewati untuk menentukan komunikasi antar pribadi
benar-benar dilakukan.

4
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Ada tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua
individu merupakan komunikasi antar pribadi (Liliweri, 1991). Sifat-sifat komunikasi
antar pribadi itu adalah :
1. Melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan non verbal.
2. Melibatkan perilaku spontan, tepat, dan rasional.
3. Komunikasi antar pribadi tidaklah statis, melainkan dinamis.
4. Melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi, dan koherensi (pernyataan
yang satu harus berkaitan dengan yang lain sebelumnya).
5. Komunikasi antar pribadi dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan
ekstrinsik.
6. Komunikasi antar pribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan.
7. Melibatkan di dalamnya bidang persuasif.
Lebih lanjut, Lunandi (1992) menjelaskan bahwa yang dimaksud komunikasi
antar pribadi yang baik adalah komunikasi yang mempunyai siaft keterbukaan,
kepekaan, dan bersifat umpan balik. Individu merasa puas dalam berkomunikasi antar
pribadi bila ia dapat mengerti orang lain dan merasa bahwa orang lain juga
memahami dirinya.
Lunandi (1992) menekankan pentingnya komunikasi antar pribadi dibedakan
dari bentuk komunikasi di muka umum dan komunikasi di dalam kelompok kecil.
Komunikasi antar pribadi dibatasi pada komunikasi antara orang dengan orang dalam
situasi tatap muka. Jadi, sama sekali tidak meliputi telekomunikasi jarak jauh
(telepon, telegram, telex) dan komunikasi massa, yang ditujukan kepada sejumlah
orang besar orang sekaligus (surat kabar, radio, televisi). Ada bentuk pendekatan yang
dapat digunakan untuk mendefinisikan komunikasi antar pribadi sebagai bentuk yang
berbeda dari bentuk lain komunikasi. Komunikasi antar pribadi sebagai suatu kegiatan
terus menerus yang dilakukan orang untuk saling berhubungan dengan orang lain,
khususnya pada waktu berhadapan muka.
Miller dan Steinberg (dalam burgoon dan Ruffner, 1978) telah membuat
sumbangan pemikiran yang penting untuk memahami komunikasi manusia dengan
menyajikan cara mengkonsep bentuk komunikasi antar pribadi. Asumsinya adalah
manusia mempunyai kemampuan menyeleksi strategi komunikasi yang akan
memaksimalkan kemungkinan untuk berhasil dalam komunikasi yang dilakukan.
Manusia ternyata mampu untuk membuat prediksi tentang akibat dan hasil dari
komunikasi yang dilakukan. Untuk memprediksi suatu bentuk komunikasi termasuk
komunikasi antar pribadi atau bukan perlu dilakukan pemahaman terhadap
identifikasi 3 data tingkat informasi, yaitu:

1. Data tingkat kebudayaan (Cultural level-data).
Kebudayaan merupakan sekumpulan keteraturan, norma, institusi sosial,
kebiasaan, dan ide-ide yang dimiliki oleh sekumpulan orang. Terkadang kebudayaan
didefinisikan sebagai lokasi geografis, etnis, pola religius. Para ahli menganggap
bahwa orang yang termasuk kelompok kebudayaan yang sama mempunyai kesamaan
cara bertingkah laku dan tampak memiliki sikap dan nilai tertentu. Dengan demikian,
kebudayaan dapat memberi petunjuk bagaimana anggota kelompok kebudayaan
tertentu akan berkomunikasi satu dengan yang lainnya.
Dengan data kebudayaan yang ada, dapat dibuat prediksi atau perkiraan
bagaimana anggota dalam kebudayaan tertentu akan berkomunikasi dan merespon
orang lain. Masalah yang mungkin terjadi ketika seseorang yang hanya mempunyai
data tingkat kebudayaan berhadapan dengan orang lain adalah kesalahpahaman.
Ketika berhadapan dengan individu yang spesifik, seseorang harus berhati-hati untuk

5
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
menerapkan perkiraan tentang orang tersebut berdasar data tingkat kebudayaan.
Masing-masing individu yang tergabung dalam suatu kelompok kebudayaan
mempunyai kepribadian sendiri-sendiri.
Para ahli komunikasi berpendapat bahwa dengan hanya menggunakan strategi
yang memiliki data tingkat kebudayaan saja, belum cukup untuk dapat dikatakan
mampu berkomunikasi secara interpersonal atau pribadi. Dengan demikian berarti
seseorang hanya menggeneralisasi data yang diambil dari sebuah kelompok
kebudayaan dan tidak membedakan serta menyesuaikan komunikasi dengan individu
yang berbeda-beda.

2. Data tingkat sosiologis (Sociological-level data).
Analisis data tingkat sosiologis didasarkan pada pertimbangan yang dibuat
tentang orang lain dengan mengetahui kelompok tempat orang tersebut termasuk. Ada
pertimbangan untuk mengelompokkan seseorang ke dalam kelompok tertentu
berdasar keanggotaannya pada bentuk kelompok sosial yang dipilihnya. Namun ada
juga keanggotaan kelompok yang tidak dipilih sendiri oleh yang bersangkutan,
misalnya termasuk ke dalam kelompok orang tua, dewasa, dan remaja. Bagaimanapun
juga, anggota yang termasuk kelompok tertentu, baik yang dipilih sendiri maupun
tidak mempunyai kesamaan dengan anggota lainnya dalam satu kelompok. Antar
kelompok itu sendiri mempunyai perbedaan yang merupakan ciri dari masing-masing
bentuk kelompoknya.
Membuat prediksi berdasar pada analisis data tingkat sosiologis ternyata sulit
bila seseorang berkomunikasi dengan yang lainnya. Data tingkat sosiologis
merupakan generalisasi dari tingkah laku yang ditemui pada keanggotaan setiap
kelompok, yang tidak dapat begitu saja diterapkan pada setiap anggota kelompok.

3. Data tingkat psikologis (Psychological-level data)
Untuk lebih dapat mengenal perbedaan-perbedaan individu dibutuhkan
strategi mengenai data tingkat psikologis. Data tingkat psikologis menuntut adanya
saling mengenal antar individu yang terlibat di dalam transaksi komunikasi.
Walaupun individu mempunyai sekumpulan data mengenai kebudayaan dan
sosiologis seseorang tidak dapat memperkirakan perilaku khusus seseorang yang
dihadapinya. Informasi mengenai data tingkat psikologis tidak dapat dipisahkan dari
proses keintiman yang terjalin, terkadang seseorang memberikan informasi mengenai
dirinya sendiri kepada orang lain, dan mendapatkan informasi balik dari orang lain
mengenai dirinya.
Memperoleh informasi data tingkat psikologis sangat dibutuhkan untuk
mengembangkan komunikasi antar pribadi yang terjalin. Dapat dibayangkan bila
seseorang menggunakan waktunya untuk terlibat dalam komunikasi antar pribadi
dengan orang lain dan tetap merasa hanya memiliki data yang sedikit tentang orang
tersebut, maka komunikasi yang dilakukannya tidak dapat melibatkan emosi yang
mampu mencerminkan kehangatan, keterbukaan, dan dukungan.
Di dalam mengembangkan transaksi komunikasi, individu cenderung untuk
lebih banyak menggunakan data tingkat psikologis. Dengan kata lain, strategi
komunikasi yang dilakukan individu didasarkan pada pengetahuan tentang perbedaan
individu-individu yang dihadapi. Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan
tidak dapat digeneralisasikan begitu saja.
Jadi, di dalam komunikasi antar pribadi yang lebih ditekankan adalah strategi
komunikasi yang berdasar pada data tingkat psikologis. Data tingkat kebudayaan dan

6
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
sosiologis digunakan sebagai pelengkap di dalam mengumpulkan data tentang
seseorang yang sedang dihadapi.
Selain kemampuan menganalisis data tingkat psikologis seseorang, di dalam
melakukan transaksi komunikasi antar pribadi, juga dibutuhkan kemampuan-
kemampuan khusus. Bochner dan Kelly (dalam landt, 1976) mengemukakan 5
kemampuan khusus di dalam menjalin komunikasi antar pribadi, yaitu: (1) empati,
atau proses kemampuan menangkap hal-hal yang terdapat di dalam komunikasi
dengan orang lain melalui analisis isi pembicaraan, nada suara, ekspresi wajah,
sehingga seseorang dapat menangkap pikiran dan perasaan yang sesuai dengan orang
yang bersangkutan, (2) diskripsi, kemampuan untuk membuat pernyataan yang
konkrit, spesifik, dan diskriptif, (3) kemampuan merasakan dan memahami
pernyataan yang dibuat dan mempertanggungjawabkannya sehingga tidak hanya
menyalahkan orang lain terhadap perasaan yang dialami, (4) sikap kedekatan,
keinginan untuk membicarakan perasaan-perasaan pribadi, (5) tingkah laku yang
fleksibel ketika menghadapi kejadian yang baru dialami.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari batasan tentang komunikasi antar pribadi
adalah bahwa komunikasi antar pribadi lebih dari sekedar komunikasi tatap muka,
namun dari komunikasi tatap muka lebih memungkinkan untuk dikembangkan
menjadi komunikasi antar pribadi. Mengembangkan komunikasi antar pribadi dapat
dengan melakukan analisis data tingkat psikologis yang menekankan bahwa individu
berbeda-beda, dan pendekatannya juga berbeda-beda. Dari komunikasi tatap muka
besar kemungkinan dikembangkan hubungan yang bersifat hangat, terbuka, dan
komunikasi tersebut dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi yang
bersangkutan.

B. Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi
Dalam berkomunikasi antar pribadi dibutuhkan suatu proses timbal balik yang
aktif antara dua individu dalam memberi dan menerima informasi, sehingga terjalin
adanya saling pengertian bagi ke dua belah pihak.
Burgoon dan Ruffner (1978) dalam buku "Human Communication"
menjelaskan hambatan komunikasi (communication apprehension) sebagai bentuk
reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami seseorang ketika
berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum, maupun
komunikasi massa.
Individu yang mengalami hambatan komunikasi (communication
apprehension) akan merasa cemas bila berpartisipasi dalam komunikasi bentuk yang
lebih luas, tidak sekedar cemas berbicara di muka umum. Individu tidak mampu untuk
mengantisipasi perasaan negatifnya, dan sedapat mungkin berusaha untuk
menghindari berkomunikasi. Jadi, istilah hambatan komunikasi (communication
apprehension) mencakup kondisi yang lebih luas, baik kecemasan komunikasi antar
pribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa. Dalam penelitian ini yang
akan ditekankan adalah pada kecemasan komunikasi antar pribadi.
Individu yang mengalami kecemasan dalam berbagai bentuk, termasuk cemas
ketika berkomunikasi antar pribadi sebenarnya berada dalam kondisi emosi yang
sama sekali tidak menyenangkan (Spielberger, dalam Post dkk.,1978). Lazarus,
(1976) menjelaskan lebih lanjut bahwa perasaan cemas sebenarnya merupakan
pengalaman yang samar-samar disertai dengan adanya perasaan tidak berdaya.
Sifat kecemasan dikatakan subjekif, artinya bahwa kejadian yang menjadi
penyebab dan reaksi yang dialami tiap individu berbeda. Pada umumnya tanda-tanda
yang menyertai kecemasan pada tiap orang adalah sama, yaitu ditandai dengan

7
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
perubahan psikologis seperti perasaan tegang, takut, khawatir, perubahan fisiologis
seperti denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah yang meningkat (Lazarus,
1976; Solomon dan nevid, 1974; dalam Post dkk., 1978).
Burgoon dan Ruffner (1978) mengemukakan tentang ciri-ciri kecemasan
komunikasi antar pribadi, yaitu ;
a. Tidak berminat untuk berprestasi dalam berkomunikasi (Unwillingness). Individu
tidak berminat berkomunikasi disebabkan adanya rasa cemas, sifat introvert.
b.
Penghindaran (Avoiding). Individu cenderung menghindar terlibat dalam
berkomunikasi, dapat disebabkan adanya kecemasan, atau kurang informasi
mengenai situasi komunikasi yang akan dihadapi.
c. Skill acquisitionlsyarat ketrampilan. Teori ini menyatakan bahwa individu akan
merasa cemas bila ia merasa gagal atau tidak berhasil mengembangkan
ketrampilannya dalam berkomunikasi.
d.
Modelling/peniruan. Teori ini menjelaskan bahwa kecemasan komunikasi
berkembang dari proses imitasi terhadap orang lain yang diamati oleh seseorang
di dalam interaksi sosialnya.

Burgoon dan Ruffner (1978) juga menyebutkan adanya satu faktor kurangnya
pengalaman atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan
individu sehingga mengakibatkan individu cenderung menghindari komunikasi.

C. Modifikasi Perilaku-Kognitif
Berbagai penelitian tentang terapi kecemasan komunikasi antar pribadi di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa modifikasi perilaku-kognitif efektif untuk
mengatasi individu yang mengalami kecemasan komunikasi antar pribadi (Markman
dalam Kanfer dan Goldstein, 1986). Modifikasi perilaku-kognitif merupakan teknik
menggabungkan terapi kognitif dan bentuk modifikasi perilaku (Meichenbaum dalam
Kanfer dan Goldstein, 1986).
lndividu yang akan bertindak, sebelumnya didahului adanya proses berpikir,
sehingga bila ingin mengubah suatu perilaku yang tidak adaptif, terlebih dahulu harus
memahami aspek-aspek yang berada dalam pengalaman kognitif dan usaha untuk
membangun perilaku adaptif melalui mempelajari ketrampilan-ketrampilan yang
terdapat pada terapi perilakuan (Meichenbaum & Goldstein, 1986).
Meichenbaum (dalam Ivey, 1993) menekankan interaksi antara manusia dan
lingkungan. Perilaku teljadi secara resiprok dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan,
proses fisiologis dan konsekuensi perilaku. Modifikasi perilaku-kognitif merupakan
bentuk terapi yang ingin melihat bahwa individu tidak hanya dipahami melalui
perilaku yang tampak saja seperti yang dilihat oleh pihak perilakuan (behaviorist),
namun dibalik tingkah laku yang tampak terdapat proses internal yang sebenarnya
merupakan hasil pemikiran kognisi.


BAB III
PEMBAHASAN

Meichenbaum (dalam Kanfer & Goldstein, 1986) menyatakan bahwa tidak
mudah untuk menjelaskan definisi modifikasi perilaku-kognitif. Di dalam modifikasi
perilaku-kognitif terdapat berbagai macam prosedur, termasuk di dalamnya misalnya
terapi kognitif, terapi emotif rasional, latihan penurunan stress, latihan pengelolaan
kecemasan, kontrol diri, dan latihan instruksi diri.

8
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Meichenbaum yang merupakan seorang tokoh yang berpengaruh di dalam
modifikasi perilaku-kognitif (Ivey, 1993) mengemukakan pandangannya bahwa
modifikasi perilaku-kognitif dilakukan berkenaan untuk menolong klien
mendefinisikan problem kognitif dan perilakunya, dengan mengembangkan kognisi,
emosi, perubahan perilaku dan mencegah kambuh kembali.
Adapun asumsi yang mendasari modifikasi perilaku kognitif adalah:
1. Kognisi yang tidak adaptif mengarah pada pembentukan tingkah laku yang tidak
adaptif pula
2. Peningkatan diri yang adaptif dapat ditempuh melalui peningkatan pemikiran
yang positif
2. Klien dapat mempelajari peningkatan pemikiran mengenai sikap, pikiran, dan
tingkah laku.

Jadi, dari penjelasan di atas, secara singkat modifikasi perilaku-kognitif dapat
diartikan sebagai suatu teknik yang secara simultan berusaha memperkuat timbulnya
perilaku adaptif dan memperlemah timbulnya perilaku yang tidak adaptif melalui
pemahaman proses internal yaitu aspek kognisi tentang pikiran yang kurang rasional
dan upaya pelatihan ketrampilan coping yang sesuai.

A. Prinsip-prinsip Modifikasi Perilaku- Kognitif
Sebelum proses terapi dimulai, terapis perlu terlebih dahulu menjelaskan
susunan terapi kepada subjek, yang meliputi penjelasan tentang sudut pandang teori
modifikasi perilaku dan teori terapi kognitif terhadap perilaku yang tidak adaptif,
prinsip yang melandasi prosedur modifikasi perilaku kognitif, dan tentang langkah-
langkah di dalam terapi. Penjelasan ini penting perannya untuk meningkatkan
motivasi individu dan menjalin kerjasama yang baik. Perlu pula dijelaskan bahwa
fungsi terapis hanyalah sebagai fasilitator timbulnya perilaku yang dikehendaki, dan
individu yang berperan aktif dalam proses terapi (Ivey, 1993). Oleh karena itu
individu harus benar-benar terampil menggunakan prinsip-prinsip terapi kognitif dan
modifikasi perilaku dengan masalah yang dialaminya, dan peran terapis penting
dalam mengajak individu memahami perasaannya dan teknik terapi yang efektif untuk
terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki.
Terkait dengan perlunya pemahaman tentang prinsip-prinsip modifikasi
perilaku-kognitif, Meichenbaum (dalam Ivey, 1993) mengemukakan 10 hal yang
harus diperhatikan seorang terapis dalam penggunaan modifikasi perilaku-kognitif,
yaitu:
1. Terapis perlu memahami bahwa perilaku klien ditentukan oleh pikiran, perasaan,
proses fisiologis, dan akibat yang dialaminya. Terapis dapat memasuki sistem
interaksi dengan memfokuskan pada pikiran, perasaan, proses fisiologis, dan
perilaku yang dihasilkan klien.
2. Proses kognitif sebenarnya tidak menyebabkan kesulitan emosional, namun yang
menyebabkan kesulitan emosional adalah karena proses kognitif itu sendiri
merupakan proses interaksi yang kompleks. Bagian penting dari proses kognisi
adalah meta-kognisi yaitu klien berusaha untuk memberi komentar secara internal
pada pola pemikiran dan perilakunya saat itu. Struktur kognisi yang dibuat
individu untuk mengorganisasi pengalaman adalah personal schema. Terapis perlu
memahami personal schema yang digunakan oleh klien untuk lebih mamahami
masalah yang dialami klien. Perubahan personal schema yang tidak efektif adalah
bagian yang penting dari terapi.

9
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
3. Tugas penting dari seorang terapis adalah menolong klien untuk memahami cara
klien membentuk dan menafsirkan realitas.
4. Modifikasi perilaku-kognitif memahami persoalan dengan pendekatan psikoterapi
yang diambil dari sisi rasional atau objektif.
5. Modifikasi perilaku-kognitif ditekankan pada penjabaran serta penemuan proses
pemahaman pengalaman klien.
6. Dimensi yang cukup penting adalah untuk mencegah kekambuhan kembali.
7. Modifikasi perilaku-kognitif melihat bahwa hubungan baik yang dibangun antara
klien dan terapis merupakan sesuatu yang penting dalam proses perubahan klien.
8. Emosi memainkan peran yang penting dalam terapi, untuk itu klien perlu dibawa
ke dalam suasana terapi yang mengungkap pengalaman emosi.
9. Terapis perlu menjalin kerjasama dengan pihak keluarga ataupun pasangan klien.
10. Modifikasi perilaku-kognitif dapat diperluas sebagai proses pencegahan timbulnya
perilaku maladaptif.

B. Pengukuran Dalam Modifikasi Perilaku-Kognitif
Pengukuran merupakan hal yang penting dalam modifikasi perilaku-kognitif.
Pengukuran yang cermat perlu dilakukan sebelum, selama, dan setelah terapi (Hersen
& Bellack, 1977). Melalui pengukuran akan diperoleh data yang berguna untuk
melakukan identifikasi, klasifikasi, prediksi, spesifikasi, dan evaluasi.
Terapis perlu mengidentifikasi faktor-faktor pada subjek yang dapat menjadi
penghambat ataupun pendorong timbulnya perilaku subjek, aspek biologis, dan
anatomis.
Setelah informasi diperoleh, terapis dapat melakukan klasifikasi perilaku yang
tidak adaptif, dan perilaku yang adaptif. Prediksi yang dilakukan terutama terkait
dengan kontrol yang bersifat terapiutik untuk munculnya perilaku adaptif.
Langkah selanjutnya adalah menentukan teknik serta tujuan yang ingin
dicapai. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh efek pelatihan
berpengaruh terhadap subjek.

C. Macam-macam Modifikasi Perilaku-Kognitif
Modifikasi perilaku-kognitif terdiri dari bermacam-macam teknik. Pada
bagian ini akan dibahas teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini.
(a)Teknik relaksasi. Teknik ini dilakukan berdasar pada asumsi bahwa individu dapat
secara sadar untuk belajar merilekskan otot-ototnya sesuai dengan keinginannya
melalui suatu cara yang sistematis (Jacobson dalam walker dkk., 1981). Ada
bermacam-macam teknik relaksasi, salah satunya yaitu teknik relaxation via letting go
agar subjek mampu melepaskan ketegangan dan akhirnya mencapai keadaan tanpa
ketegangan. Diharapkan subjek belajar menyadari ketegangannya dengan
menegangkan otot-ototnya dan berusaha untuk sedapat mungkin mengurang dan
menghilangkan ketegangan otot tersebut. Selain itu dilatihkan pula teknik differential
relaxation yang mengajarkan kepada subjek ketrampilan untuk merilekskan otot-otot
yang tidak mendukung aktivitas yang dilakukan, karena dalam keadaan cemas seluruh
otot cenderung tegang, walau otot tersebut kurang berperan dalam aktivitas tertentu.
Pada penelitian ini materi teknik relaksasi yang digunakan diambil dari materi
relaksasi yang digunakan oleh Andajani (1990).
(b) Teknik pemantauan diri. Teknik ini berfungsi sebagai alat pengumpul data
sekaligus berfungsi terapiutik. Dasar pemikiran teknik ini adalah pemantauan
diri terkait dengan evaluasi diri dan pengukuhan diri (Kanfer, dikutip Andajani,

10
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
1990). Subjek memantau dan mencatat perilakunya sendiri, sehingga lebih
menyadari perilakunya setiap saat.
Beberapa langkah dalam teknik pemantauan diri adalah sebagai berikut: (a)
mendiskusikan dengan subjek tentang pentingnya subjek memantau dan
mencatat perilakunya secara teliti, (b) subjek dan terapis secara bersama-sama
menentukan jenis perilaku yang hendak dipantau, (c) mendiskusikan saat-saat
pemantauan dilaksanakan, (d) terapis menunjukkan pada subjek cara mencatat
data, (e) role play
Pemantauan diri hendaknya dilakukan untuk satu jenis perilaku dan relatif
merupakan respon yang sederhana (Kanfer, 1975).

(c) Teknik kognitif. Dasar pikiran teknik kognitif adalah bahwa proses kognitif
sangat berpengaruh terhadap perilaku yang ditampakan oleh individu. Burns
(1988) mengungkapkan bahwa perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa
yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran individu tersebut
belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang
dialami sebenarnya. Penyimpangan proses kognitif oleh Burns (1988) juga
disebut dengan distorsi kognitif. Pemikiran Burns merupakan pengembangan
dari pendapat Goldfried dan Davison (1976) yang menyatakan bahwa reaksi
emosional tidak menyenangkan yang dialami individu dapat digunakan sebagai
tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya sendiri mungkin tidak
rasional, untuk selanjutnya individu belajar membangun pikiran yang objektif
dan rasional terhadap peristiwa yang dialami.

Distorsi kognitif (Burns, 1988) yang dapat dialami oleh individu terdiri dari
penyimpangan pemikiran-pemikiran dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Pemikiran "Segalanva atau Tidak Sama Sekali". Pemikiran ini menunjuk pada
kecenderungan individu untuk mengevaluasi kualitas pribadi diri sendiri dalam
kategori 'hitam atau putih' secara ekstrim. Pemikiran 'bila saya tidak begini maka
saya bukan apa-apa sama sekali" merupakan dasar dari perfeksionisme yang
menuntut kesempumaan. Pemikiran ini menyebabkan individu takut terhadap
kesalahan atau ketidaksempurnaan apapun, sehingga untuk selanjutnya individu
akan memandang dirinya sebagai pribadi yang kalah total, dan individu akan
merasa tidak berdaya.
2. Terlalu Menggeneralisasi. Individu yang melakukan pemikiran terlalu
menggeneralisasi terhadap peristiwa yang dihadapinya maka individu tersebut
menyimpulkan bahwa satu hal yang pernah terjadi pada dirinya akan terjadi lagi
berulang kali, karena apa yang pernah terjadi sangat tidak menyenangkan, maka
individu selalu senantiasa merasa terganggu dan sedih.
3. Filter Mental. Pemikiran ini menunjuk kecenderungan individu untuk mengambil
suatu hal negatif dalam situasi tertentu, terus memikirkannya, dan dengan
demikian individu tersebut mempersepsikan seluruh situasi sebagai hal yang
negatif. Dalam hal ini individu yang bersangkutan tidak menyadari adanya "proses
penyaringan", maka individu lalu menyimpulkan bahwa segalanya selalu negatif.
Istilah teknis untuk proses ini ialah "abstraksi selektif'.
4. Mendiskualifikasikan Yang Positif. Suatu pemikiran yang dilakukan oleh individu
yang tidak hanya sekedar mengabaikan pengalaman-pengalaman yang positif,
tetapi juga mengubah semua pengalaman yang dialaminya menjadi hal yang
negatif.

11
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
5. Loncatan ke Kesimpulan. Individu melakukan pemikiran meloncat ke suatu
kesimpulan negatif yang tidak didukung oleh fakta dari situasi yang ada. Dua jenis
distorsi kognitifini adalah "membaca pikiran" dan "kesalahan peramal". Membaca
pikiran yaitu individu berasumsi bahwa orang lain sedang memandang rendah
dirinya, dan individu tersebut yakin akan hal ini sehingga dirinya sama sekali
tidak berminat untuk mengecek kembali kebenarannya.
Kesalahan peramal yaitu kecenderungan individu untuk membayangkan sesuatu
yang buruk akan terjadi, dan individu tersebut menganggap pemikirannya sebagai
suatu fakta walaupun sama sekali tidak realistis.
6.

Pembesaran dan Pengecilan. Individu memiliki kecenderungan untuk
memperbesar atau memperkecil hal-hal yang dialaminya di luar proporsinya.
Pembesaran yaitu individu akan melebih-lebihkan kesalahan, ketakutan, atau
ketidaksempurnaan dirinya. Pengecilan yaitu individu akan mengecilkan nilai dari
kemampuan dirinya sehingga kemampuan yang dimilikinya tampak menjadi kecil
dan tidak berarti. Jika individu membesar-besarkan ketidaksempurnaan dirinya
serta memperkecil kemampuannya, maka individu akan merasa dirinya rendah
dan tidak berarti.
7. Penalaran Emosional. Individu menggunakan emosinya sebagai bukti untuk
kebenaran yang dikehendakinya. Penalaran emosional akan menyesatkan sebab
perasaan individulah yang menjadi cermin pemikiran serta keyakinannya, bukan
kondisi yang sebenarnya.
8 Pernyataan "Harus". Individu mencoba memotivasi diri sendiri dengan
mengatakan "Saya harus melakukan pekerjaan ini". Pernyataan tersebut
menyebabkan individu merasa tertekan, sehingga menjadi tidak termotivasi. Bila
individu menunjukkan pernyataan "harus" kepada orang lain, maka individu akan
mudah frustasi ketika mengalami kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya.
9 Memberi Cap dan Salah Memberi Cap. Memberi cap pribadi berarti menciptakan
gambaran diri yang negatif yang didasarkan pada kesalahan individu. Ini
mernpakan bentuk ekstrim dari terlalu menggeneralisasi. Pemikiran dibalik
distorsi kognitif ini adalah nilai individu terletak pada kesalahan yang dibuatnya,
bukan pada kelebihan potensi dirinya. Salah memberi cap berarti menciptakan
gambaran negatif didasarkan emosi yang dialami saat itu.
10 Personalisasi. Individu merasa bertanggung jawab atas peristiwa negatif yang
terjadi, walaupun sebenarnya peristiwa bukan merupakan kesalahan dirinya. Jadi,
individu memandang dirinya sebagai penyebab dari suatu peristiwa yang negatif,
yang dalam kenyataan sebenarnya bukan individu yang harus bertanggung jawab
terhadap peristiwa tersebut.


D.

Efektivitas Modifikasi Perilaku-Kognitif untuk mengurangi Kecemasan
Komunikasi Antar Pribadi.
Berikut ini akan dipaparkan peranan masing-masing teknik yang digunakan
pada penelitian ini terhadap pengendalian kecemasan komunikasi antar pribadi.

1. Peranan Teknik Relaksasi pada Pengendalian Kecemasan Komunikasi Antar
Pribadi
Individu perlu membuat dirinya dalam keadaan rileks pada saat individu
menyadari pikiran-pikirannya yang tidak rasional dan melihat peristiwa yang
dihadapinya secara objektif dan rasional, sehingga tercapai keadaan individu yang
mampu mengurangi perasaan tidak menyenangkan. Teknik relaksasi dipelajari untuk

12
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kemampuan menyadari ketegangan otot yang terjadi pada saat
mengalami kecemasan komunikasi antar pribadi dan secara sistematis meredakan
ketegangan tersebut mencapai keadaan rileks.
Pada saat individu merasa cemas, maka sebenarnya otot-otot tubuhnya
mengalami ketegangan terutama pada otot sekitar wajah, dan leher. Denyut jantung
juga menjadi berdetak lebih keras. Ketegangan pada otot-otot tersebut menyebabkan
individu semakin sulit untuk melakukan komunikasi, denyut jantung yang berdebar
membuat seseorang menjadi merasa cemas dan tidak mampu berpikir tentang hal-hal
yang ingin diungkapkan. Dengan melatih tubuh menjadi rileks, maka ketika individu
merasa tegang ia menjadi lebih cepat sadar tentang kondisi dirinya yang tegang.
Ketika individu telah berhasil meredakan ketegangan tubuhnya, ia akan lebih mampu
berpikir lebih baik tentang hal-hal yang ingin diungkapkan.

2.

Peranan Teknik Pemantauan Diri Pada Pengendalian Kecemasan
Komunikasi Antar Pribadi
Teknik pemantauan diri dilaksanakan dengan tujuan peningkatan kesadaran
individu tentang perilaku dirinya, melalui pemantauan serta pencatatan sehingga
diharapkan individu yang bersangkutan mempunyai pemahaman yang objekif
terhadap perilakunya (Kanfer, 1975). Soekadji (1983) menegaskan pentingnya
pemantauan diri dan pencatatan data pada subjek agar tidak menimbulkan kesan yang
salah bahwa ada perubahan perilaku yang sebenarnya hanya merupakan harapannya
saja.
Proses pemantauan diri dan pencatatan data dapat menimbulkan perubahan
frekuensi perilaku tidak adaptif, karena dalam proses tersebut juga terjadi proses
evaluasi dan pengukuhan diri (Kanfer, 1975).
Pencatatan yang dilakukan individu akan membantu individu tersebut untuk
lebih memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi sehari-hari, perasaan-perasaan yang
dialami ketika berkomunikasi dengan individu lain.
Dengan latihan pencatatan pemantauan diri maka individu lebih menyelami
perasaannya dan mampu mengoreksi perasaan negatif yang dialaminya.

3. Peranan Teknik Komunikasi pada Pengendalian Kecemasan Komunikasi
Antar Pribadi
Teknik ini bertujuan untuk mengajarkan kemampuan aspek kognitif yang
berperan untuk pembentukan perilaku yang dikehendaki (Goldfried dan Davison,
1976). Individu mengembangkan perilakunya yang adaptif maupun tidak adaptif dan
pola perasaan melalui proses kognitif (Burns, 1988). Kesadaran individu bahwa
kecemasannya dalam berkomunikasi antar pribadi disebabkan oleh adanya pikiran
dan persepsi yang tidak rasional dan kemampuan untuk menggantikan pikiran-pikiran
tidak rasional dengan pikiran objektif membuat individu lebih terkendali (Markman
dalam Kanfer dan Goldstein, 1986). Dengan demikian individu melakukan evaluasi
terhadap pernyataan-pernyataan diri yang menimbulkan kecemasan, menghentikan
pikiran-pikiran tersebut, dan kemudian membuat pernyataan-pernyataan diri yang
objektif serta rasional (Bellack dan Hersen, 1977).
Individu yang merasa cemas ketika berkomunikasi antara pribadi sebenarnya
mengalami beberapa distorsi kognitif yang tidak disadarinya. Dengan individu
menyadari bahwa ternyata ada beberapa distorsi kognitif, maka diharapkan individu
tersebut mampu mengatasi rasa cemasnya dengan memperbaiki pola pemikirannya.



13
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan studi wacana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya maka
pada akhirnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Teknik modifikasi perilaku ternyata dapat digunakan dan hasilnya efektif untuk
menurunkan kecemasan komunikasi antar individu.
2. Efektivitas modifikasi perilaku kognitif untuk mengurangi kecemasan komunikasi
antar pribadi dapat bertahan selama beberapa waktu lamanya, jadi tidak
merupakan perubahan sesaat saja. Hal ini dimungkinkan karena proses modifikasi
sendiri mampu direkam oleh sisi kognitif individu yang dapat digunakan sewaktu-
waktu.
3. Motivasi adalah faktor yang sangat penting dalam perubahan perilaku individu.

B. Saran
Berdasarkan studi wacana yang telah dipaparkan maka dapat dikemukakan
saran-saran sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan studi eksperimental untuk menguji secara empiris efektivitas
modifikasi perilaku-kognitif untuk mengurangi kecemasan komunikasi antar
pribadi. Pelaksanaan penelitian sebaiknya menggunakan 2 kelompok penelitian
yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
2. Studi mengenai modifikasi perilaku-kognitif untuk mengurangi kecemasan
komunikasi antar pribadi sebaiknya dikembangkan ke masyarakat luas maupun
bidang pendidikan untuk memberikan sumbangan nyata dalam mengatasi
masalah yang sebenarnya cukup banyak terjadi di lingkungan pendidikan
maupun masyarakat luas.
3.
Bagi peneliti selanjutnya disarankan hendaknya memperhatikan atau mengukur
faktor-faktor lain, yang ikut mempengaruhi kecemasan komunikasi antar
pribadi.

Demikianlah dengan menemukan teknik sederhana dan praktis untuk
mengendalikan kecemasan komunikasi antar pribadi, akan sangat membantu praktisi
dan psikolog menangani kasus yang sama.
Dari hasil penelitian lanjutan diharapkan bahwa teknik modifikasi perilaku
kognitif akan makin mantap dipakai untuk mengatasi masalah kecemasan komunikasi
antar pribadi.



DAFTAR PUSTAKA

Andajani, A. S. 1990. Etektivitas Teknik Kontrol Diri pada Pengendalian Kemarahan.
Skripsi (Tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.

Azwar, S. 1986. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Liberty.

Bellack, A. S. and Hersen, M. 1977. Behavior Modification: An Introductory
Textbook. New York: Oxford University Press.


14
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Burgoon, M. and Ruffner, M. 1978. Human Communication. New York: Holt
Rinehart and Winston.

Burns, D. D. 1988. Terapi Kognitif. Pendekatan baru Bagi Penanganan Depresi.
Jakarta: Penerbit Airlangga.

Goldfried, M. R., and Davison, G. L. 1976. Clinical Behavior Therapy. New York:
Holt Rinehart and Winston.

Hadi, S. 1984. Metodologi Research jilid ll. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi UGM.

Hurt, T. H. 1978. Communication in the Classroom. Menlopark: Addison Wesley.

Ivey, A E., Ivey, M. B., Simek, L. Morgan. 1993. Conseling and Psychotherapy. A
Multicultural Perspective. Boston: Allyn and Bacon a Division of Simon and
Schuster, Inc.

Jandt, F. E. 1976. The Process of Interpersonal Communication. New York: Harper
and Row Publisher Inc.

Kanfer, F. H. and Goldstein, AP. 1986. Helping People Change. New York
:Pergamon Press.

Kindred. J. 1984. Interpersonal Communication. Minneapolis: University of
Minnesota Press.

Lazarus, R. S. 1969. Pattern of Adiusment and Human Effectiveness. New York: Mc
Graw- Hill Book Company.

Liliweri, A 1991. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Lunandi, AG. 1992. Komunikasi mengena. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Mariani, K. 1991. Hubungan antara Sifat Pemantauan Diri dengan Kecemasan dalam
Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Psikologi dan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.

Soetarlinah S. 1983. Modifikasi perilaku: Penerapan Sehari-hari dan Penerapan
Profesional. Yogyakarta : Liberty.

Utami , MS. 1991. Efektivitas Relaksasi dan Terapi Kognitif untuk Mengurangi
Kecemasan Berbicara di Muka Umum. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana
UGM.

Walker, C. E., Clement, P. W. 1981. Clinical Procedures for Behavior Therapy. New
Jersey: Prentice - Hall Inc. Englewood Cliffs.

15
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara


Materi Tak Seperti Motivasi

Sebagian besar guru mengatakan bahwa semangat belajar siswa pada masa sekarang mulai pudar. Jika generasi tua masa lalu akan ulangan tidak membaca merasa sangat khawatir. Akan tetapi jika kita melihat sebagian besar siswa akan ujian, ia begitu santai, duduk-duduk tanpa memegang buku. Seolah-olah tidak ada beban berat di pikirannya. Jika kita mau patroli malam di rumah-rumah siswa, bisa menghitung persentase siswa yang rajin belajar malam. Mereka sering begadang dengan teman di pinggir-pinggir jalan dengan berbagai musik di tangan.

Apakah gerangan penyebabnya? Apakah pengaruh teknologi yang dahsyat, apakah pengaruh pergaulan yang tak terkendali? Ataukah memang anak belum mendapat motivasi belajar yang cukup dari beberapa pihak, baik orang tua, masyarakat, dan gurunya? Mungkin saja semuanya berpengaruh terhadap siswa dan aktivitasnya. Lalu sudah sejauh mana tugas guru telah mampu mengantarkan siswa untuk maju?

Guru sendiri masih banyak yang berdiri di depan kelas hanya sebagai sosok penyaji materi. Metode klasik ceramah merupakan handalan utamanya. Sebagai tenaga profesional, guru harus berusaha untuk mengikuti perkembangan sehingga bisa membangkitkan semangat belajar siswa. Jangan sampai guru hanya terdorong yang penting materi pelajaran selesai masalah ketuntasan aku tak tahu. Barangkali ada tugas guru yang sering terlupakan, yaitu guru sebagai agen pembelajaran yang mempunyai tugas sebagai fasilitator, motivator, pemacu, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Baca penjelasan pasal 28 Standar Nasional Pendidikan (NSP)

Dunia pembelajaran baru mengatakan bahwa belajar yang baik adalah belajar yang menggembirakan dan berpusat pada pembelajar, pembelajaran paling berhasil adalah dalam lingkungan yang kaya pilihan dan memberi banyak jalan (Dave Meier, 2005:244). Berkenaan dengan hal ini, maka tugas guru sebagai agen pembelajaran harus direalisasikan semaksimal mungkin. Guru berusaha sebagai fasilitator bukan sebagai penyaji, biarlah siswa sendiri mendapatkan informasi dan ilmu, guru hanya memfasilitasi dan membantu jika mereka mendapat kesulitan.

Lebih daripada itu, tugas guru sebagai motivator atau pemberi motivasi mengungguli materi pelajaran yang diampu dan disajikannya. Mengapa tidak? Jika guru telah berhasil memotivasi siswa untuk belajar dan mereka telah merasa asyik dan enjoy dengan belajarnya, maka materi pelajaran dan kompetensi-kompetensi dasar akan diraih siswa itu sendiri. Mereka akan tergerak belajar tanpa harus disuruh dan diperintah. Mereka sendirilah yang merasa butuh. Sebaliknya, jika motivasi belajar siswa telah mati atau pudar, jangan harap banyak meski guru berkoar-koar tak jua mereka bangkit belajar. Kapan ilmu dan informasi mereka miliki?

Memang banyak jenis motivasi yang dapat diberikan guru kepada siswa, akan tetapi ada yang lebih penting yaitu pembangkitan motivasi instrinsik siswa. Guru harus berupaya agar siswa senantiasa belajar dalam situasi yang menyenangkan. Upaya ini dapat dilakukan guru dengan meningkatkan kreativitas guru memilih model-model pembelajaran terbaru yang dipadukan dengan kecanggihan terknologi untuk menciptakan situasi yang menyenangkan siswa dalam belajar dan memudahkan siswa mencapai kompetensi dasar yang disyaratkan. Siswa biasa diajak belajar dalam konteks kehidupan nyata dan memaknai kompetensi dasar tersebut pada kehidupan sehari-hari. Kebiasaan guru berceramah dan menyuruh untuk mencatat jangan dijadikan metode handalan yang tidak bisa dipermak.

Motivasi lain yang tak kalah penting adalah motivasi spiritual religius. Sebagai insan beragama, guru memiliki tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai moral agama kepada siswanya. Tak lupa pula memotivasi siswa dengan nilai-nilai ibadah pada ketekunan belajar. Allah itu memberi pahala manusia karena amal usahanya. Misalnya, sesungguhnya yang dinilai dan diberi pahala oleh Allah itu karena usaha belajar dengan tekun dan rajin, bukan kepandaian seorang siswa. Jika yang diberi pahala yang pandai, alangkah tidak adilnya Allah karena pandai dan bodoh itu Allah yang menghendaki dan yang menciptakan.

Contoh konkrit saja, siswa yang rajin belajar mendapat nilai 6 lebih dicintai dan diberi pahala yang banyak daripada siswa yang pandai mendapat nilai 10 tetapi tidak mau belajar. Siswa pandai yang tidak mau belajar ini bisa-bisa akan menjadi orang yang sombong dan dilaknat oleh Allah. Jadi, di sisi Tuhan siswa yang rajin belajar lebih mulia daripada siswa yang pandai. Rajin itu usaha sedangkan pandai itu kehendak dan kodrat Tuhan.

Dari pemahaman itu pula, maka hendaknya guru juga memotivasi siswa dengan penilaian proses, bukan sekedar penilaian hasil. Penilaian selama proses KBM sangat penting untuk memacu semangat siswa. Siswa yang telah menunjukkan proses belajar yang baik harus diberi poin nilai oleh guru. Misalnya, siswa yang menjawab pertanyaan dengan benar diberi poin dua, siswa yang menjawab pertanyaan tetapi salah harus diberi poin satu. Siswa yang menjawab tetapi salah adalah siswa yang telah berusaha dan boleh jadi karena jawaban yang salah itu siswa yang lainnya akan termotivasi dan berani mengungkapkan jawabannya. Ini sangat penting dan perlu dipahami dan disosialisasikan oleh guru kepada para siswa.

Hati nurani guru sendiri akan mengakui rasa salut terhadap siswa yang rajin belajar dan kasihan jika mereka belum berhasil. Guru akan merasa salut dan mengacungi jempol jika ada siswa yang rajin dan memperoleh nilai yang bagus. Oleh karena itu, guru jangan enggan-enggan mengatakan “bagus” kepada siswanya yang berhasil mencapai kompetensi dasar. Guru mahal-mahal memberi reward dengan mengajak bertepuk tangan bersama terhadap prestasi siswa meskipun kecil. Sekali lagi motivasi mengungguli materi yang disajikan guru. Semoga dengan banyak motivasi siswa bangkit berprestasi.
Diposkan oleh Islam dan Pendidikan Masa Depan di 08:42
Label: Pendidikan





Analisis Kasus Teori Albert Ellis

DUKUN CILIK PONARI DAN CERMIN KEMISKINAN-
Mohammad Ponari (9 tahun), anak SD kelas 3, warga dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, tiba-tiba saja menjadi “Dukun Tiban” (jadi dukun mendadak). Dengan berbekal “batu ajaib”, ia mengobati pasiennya dengan cara mencelupkan batu saktinya ke segelas air lalu si pasien disuruh meminumnya, dan konon sang pasien merasa sembuh. Ada kalanya Ponari melakukan pijatan ke tubuh pasien yang mengalami kelumpuhan. Sejak namanya tenar sebagai “juru penyembuh”, rumahnya dibanjiri puluhan ribu calon pasien yang tumpah ruah datang ke dusunnya.
-
Bagaimana awal mulanya Ponari mendapatkan batu ajaib itu ? Begini kisahnya, Ponari bermain di bawah guyuran air hujan dan petir menyambar-nyambar di atasnya. Tiba-tiba tubuh bocah itu kemasukkan hawa panas, seperti batu terkena sambaran petir. Saat itulah di bawahnya muncul batu sebesar kepalan tangan, berwarna kehitaman. Batu ini, oleh Ponari dibawa pulang.
-
Oleh neneknya, batu itu sempat dibuang. namun konon batu itu muncul kembali ke rumahnya. Awal mula Ponari bisa mengobati orang sakit, terjadi setelah salah seorang tetangganya menderita sakit. Tanpa sadar, Ponari memberi minuman air putih yang telah dicelupi batu temuannya itu. Menurut pengakuan warga dusun itu, orang yang diberi minuman Ponari itu bisa sembuh. Peristiwa ini menjadi bahan pembicaraan warga dusun.
-
Ceritera “kesaktian” Ponari ini akhirnya menyebar dari mulut ke mulut ke berbagai tempat. Puluhan ribu orangpun kemudian berbondong-bondong ke rumah Ponari untuk memperoleh pengobatan air celupan batu. Kebanyakan yang menyerbu ke rumah Ponari adalah kalangan orang-orang miskin, walaupun ada juga orang kaya yang ikut nimbrung terutama yang frustasi karena penyakitnya tak kunjung sembuh meski sudah berobat ke dokter.
-
Kerumunan puluhan ribu pasien yang saling desak mendesak mengantri ke rumah Poniri, akhirnya meminta korban 4 orang tewas. Peristiwa ini mendorong Muspida Kabupaten Jombang menghentikan praktek pengobatan Ponari sejak 12 Februari 2009 lalu untuk selamanya.
-
Adakah pasien yang sembuh, dan apakah ia benar-benar sembuh ataukah hanya sugesti ? Ada yang menyatakan sembuh, tapi banyak yang menyatakan tak ada perubahan sama sekali.
-
Fenomena apakah peristiwa Ponari ini? Fenomena Ponari adalah cermin kemiskinan dari masyarakat. Masyarakat miskin sekarang ini tak mampu berobat ke dokter maupun ke rumah sakit yang biayanya terasa amat mahal. Disamping itu pelayanan kesehatan yang murah dari pemerintah belum memenuhi kebutuhan masyarakat bawah, terutama di dusun-dusun. Maka tak heran jika masyarakat miskin maupun masyarakat yang tingkat ekonominya belum mapan, membanjiri rumah Ponari untuk mendapatkan pengobatan yang murah dan meriah.
-
Fenomena Ponari juga mencerminkan masih kuatnya orang-orang percaya pada hal-hal yang mistik ketimbang hal yang rasional di bidang pengobatan maupun lainnya.
-
(Bahan utama dicuplik dan diedit dari artikel berjudul “Ponari dan Sulitnya Ekonomi” oleh Juwair & Sandy Ferdiana, harian Republika, 13 Feruari 2009)


Analisis kasus:
Dari artikel di atas tentang hebohnya fenomena dukun kecil Ponari yang dianngap memiliki bati petir yang dipercaya memiliki kemampuan kemampuan menyembuhkan berbagai macam penyakit. Jika dikaitkandengan teori kepribadian Albert Ells mengenai terapi rasional emotif bahwa manusia selain dilahirkan memimiki potensi-potensi baik yang rasional, tetapi juga memiliki kecenderungan-kecendrungn keaerah yang menghancurkan didri, menghindari pemikiran-pemikiran berlambat-lambat, menyesali kesalahan secara tak berkesudahan, tahayul intoleransi, pefeksionisme, dan mencela diri serta menghindari pertumbuhan aktulisasi.
Maka dari itu perlu adanya suatu pelayanan bimbingan kea rah pemikiran yang rasional sehingga dapat dijadikan dasar pemikiran rasinal masyarakat tentang mitis atau tahayul seperti kasus dukun cilik ponari.